Monday, January 22, 2007

JURNALIS JUGA BURUH

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 5

Oleh : Aditya Heru Wardhana

Buruh di stasiun TV

“Sekarang saatnya wartawan berada di dalam barisan buruh, berjuang bersama menuntut hak” teriak lantang Ulil Niam Yusron, Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia). Seruan itu bergema diantara ratusan ribu kaum buruh yang membanjiri jalanan utama Ibukota Jakarta 1 Mei lalu, tepat pada perayaan Hari Buruh Internasional.

Pada siang yang heroik, berkumpullah kelas buruh dari berbagai sektor manufaktur, jasa hingga para kuli tinta alias jurnalis. Isu revisi undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah menyatukan beragam elemen gerakan buruh. Keseluruhannya bersepakat pada penolakan revisi. Tak ketinggalan pula para jurnalis dan serikat pekerja pers yang terwakili pada bergabungnya Aliansi Jurnalis Independen dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) sebuah koalisi yang menjadi motor penggerak penolakan revisi.

Bagi sebagian kalangan, keterlibatan para jurnalis dalam aksi-aksi buruh adalah hal yang aneh. Mengapa? Karena jurnalis dikategorikan sebagai kaum professional. Kaum professional diartikan orang yang menjalankan suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu dan terikat pada kode etik masing-masing profesi. Seperti dokter terikat pada kode etik yang disusun Ikatan Dokter, pengacara terikat kode etik Ikadin termasuk jurnalis yang terikat pada kode etik jurnalistik yang disusun Dewan Pers.

Tapi mengapa diantara sekian kaum professional, hanya jurnalis bergabung dalam gerakan buruh?. Inilah letak kekhasan seorang profesi jurnalis.

Jurnalis atau wartawan adalah pekerjaan yang unik. Di satu sisi seorang jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik, bersikap independent dan bekerja demi kepentingan umum. Namun di sisi lain, jurnalis bekerja pada perusahaan media, tak beda dengan karyawan, pekerja atau buruh di sektor lain yaitu orang bekerja demi menerima upah dari sang majikan. Termasuk dalam golongan proletariat bila dipandang dari kacamata Marxian. Dalam hubungannya di tempat bekerja, jurnalis mengalami pertentangan kelas antara buruh – majikan, yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.

Permasalahan yang dihadapi jurnalis sebagai buruh di media antara lain gaji yang rendah, status karyawan yang tidak jelas, fasilitas yang belum memadai seperti susah meminta biaya penggantian liputan (internet, cetak foto), tidak ada tunjangan pensiun, termasuk berkenaan PHK dan jenjang karir.

Karena keunikan profesi itulah, organisasi atau serikat pekerja pers berdiri di dua kaki yaitu menjaga dan merawat kebebasan pers, melindungi jurnalis berkaitan tugas-tugas jurnalistik serta memperjuangkan kesejahteraan para jurnalis sebagai buruh di perusahaan media.

Tapi karena menyandang profesi yang mentereng itu pula yang menyebabkan gerakan serikat pekerja pers lamban mengalami kemajuan. Tingkat kesadaran jurnalis untuk berserikat masih rendah. Sebagian jurnalis terbuai kesadaran semu bahwa mereka adalah kelas professional, independent, tidak tergantung pada siapa pun. Berserikat belum dipandang sebagai kebutuhan bahkan ada yang menganggap berserikat dapat membiaskan kemandirian profesi jurnalis.

Peta Serikat Pekerja Pers

Dewanto (2002) dalam penelitian yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, sampai pada tahun 2002 tercatat telah berdiri 28 serikat pekerja pers di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan tumbuhnya ribuan media massa semenjak era kebebasan pers bergulir. Dari jumlah itu, 20 serikat pekerja pers lahir setelah tahun 1998. Namun tak semuanya mencatatkan diri secara resmi ke kantor Dinas Tenaga Kerja setempat. Dari data tersebut tahun 2000 bisa disebut sebagai tahun kebangkitan serikat pekerja pers karena banyak terbentuk serikat di berbagai media massa pada kisaran tahun itu.

Tahun Berdiri

Jumlah

2002

6

2000-2001

9

1998-1999

5

1990-1997

6

<1990

2

Total Serikat Pekerja

28

AJI Jakarta. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia

Media

Jumlah

Cetak (Koran, majalah, tabloid)

21

Radio

1

Televisi

2

Dotcom

2

Kantor berita

2

Total Serikat Pekerja

28

AJI Jakarta. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia

Data menunjukkan serikat pekerja pers mayoritas tumbuh di media cetak. Menjamurnya media elektronik baik televisi, radio maupun online tidak diikuti dengan pendirian serikat pekerja pers. Tidak dapat dipungkiri bahwa motor penggerak serikat pekerja pers adalah para jurnalis, orang yang bekerja di bidang redaksi pemberitaan. Di perusahaan media cetak, redaksi dalam artian para jurnalis memegang peranan paling penting dibandingkan bagian lain seperti marketing atau sirkulasi. Hampir keseluruhan lembaran surat kabar diisi oleh kerja para jurnalis. Sedangkan di media televisi, redaksi pemberitaan bukanlah bagian yang pokok dan menentukan. Masih ada bagian lain seperti produksi, programming maupun teknis dan transmisi. Bahkan di beberapa stasiun televisi, pemberitaan hanya sekadar pelengkap. Sedang program utama layar kaca adalah hiburan seperti sinetron, film, reality show. Contohnya pada salah satu stasiun TV nasional yang berkantor di Jakarta, memiliki karyawan hingga 1700 orang, sedang yang berada di bagian pemberitaan hanya 300 orang atau 18%. Orang yang bekerja di bagian pemberitaan belum tentu memiliki kesadaran yang sama mengenai pentingya serikat pekerja pers. Sedangkan dua serikat pekerja pers di televisi yaitu SCTV dan ANTV pun sampai saat ini belum terasa gregetnya.

Televisi adalah sektor yang sangat penting dan strategis tidak saja dari segi bisnis yang sangat menggiurkan namun juga kepentingan politis. Banyak pemodal yang berkeinginan mempunyai stasiun TV. Karena keterbatasan frekuensi, mengakuisisi stasiun TV yang sudah berdiri adalah langkah yang paling mungkin. Sehingga ketika ada stasiun TV yang sedang kolaps, sudah banyak pemodal yang mengincarnya. Hal ini tidak sampai menimbulkan permasalahan ketenagakerjaan di lingkungan jurnalis yang bekerja di stasiun yang bersangkutan.

Padahal pendirian serikat pekerja lazimnya ketika muncul permasalahan di perusahaan. Saat kondisi normal, gaji memuaskan, fasilitas penunjang memadai, jaminan asuransi dan hari tua lancar, tidak ada greget pembentukan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda perusahaan sedang menuju kebangkrutan atau ada rencana strukturisasi yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan lalu tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tentu saja tidak ada yang salah. Tetapi ini menunjukkan seolah serikat pekerja hanya dibutuhkan ketika perusahaan sedang menghadapi masalah. Padahal ketika perusahaan sedang sehat, serikat pekerja tetap diperlukan dan seharusnya bekerja. Kondisi ini biasanya terjadi terutama pada media cetak dan media online.

Wilayah

Jumlah

Jakarta

23

Surabaya

2

Solo

1

Luar Jawa

2

Total Serikat Pekerja

28

AJI Jakarta. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia

Dari segi geografis, Jakarta sebagai pusat perputaran modal terdapat 23 serikat, dan hanya dua serikat pekerja pers yang tumbuh di luar Jawa yaitu di Makassar dan Medan. Kondisi perusahaan kurang berkorelasi dengan tingkat kesadaran para jurnalis untuk berserikat. Di daerah, kondisi para jurnalis lebih memprihatinkan. Heru Hendratmoko, ketua AJI Indonesia berdasar hasil survey AJI melansir ada jurnalis yang hanya digaji 200 ribu sebulan. Ada juga perusahaan yang tidak menggaji sama sekali, para jurnalis dipersilakan mencari sendiri, entah dari mana, dengan cara apa saja. Bahkan ada jurnalis yang harus “membeli” kartu pers pada perusahaan media tertentu sebagai modal kerja. Padahal, justru di daerah lebih marak penerbitan pers. Di luar Jawa juga banyak masalah berkaitan dengan gaji dan fasilitas wartawan yang minim. Tampaknya, pendirian serikat pekerja ini tidak punya korelasi dengan buruknya kondisi wartawan. Terbukti, sebagain besar serikat pekerja justru berasal dari Jakarta dan dari media yang sudah mapan. Sementara media di luar Jawa dan hidupnya tidak mapan justru tidak terdapat serikat pekerja. Pendirian serikat pekerja, tampaknya justru mempunyai korelasi dengan kesadaran dari para wartawan sendiri. Karyawan media di Jakarta relatif mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya, para jurnalis kerap menghadapi bahaya terutama dari pihak-pihak yang merasa tidak senang pada pemberitaan. Para jurnalis di daerah malah lebih kerap menjadi sasaran terror, ancaman, kekerasan hingga penghilangan nyawa. Kasus Udin, wartawan Bernas Yogyakarta, merupakan simbol kekerasan terhadap jurnalis yang hingga kini belum tuntas terungkap. Udin meninggal saat menjalankan tugas jurnalistik berkaitan dugaan korupsi Bupati Bantul saat itu. Hingga pertengahan tahun 2006 ini, masih saja terjadi pembunuhan terhadap jurnalis, Herliyanto, 40 tahun, freelance di Tabloid Delta Pos ditemukan tidak bernyawa di hutan jati desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Di bumi Kalimantan, tepatnya di wilayah Tenggarong Kabupaten Kutai Kertanegara lima jurnalis dianiaya sekelompok orang tak dikenal ketika hendak melakukan konfirmasi mengenai kepergian Bupati Syaukani ke luar negeri tanpa seizin Gubernur. Di Lampung pun para jurnalis tak lepas dari ancaman. Syamsul Rizal, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Wayhui mencabut pistol di pinggang bak koboi lantas mengarahkan pada jurnalis yang sedang meliput rekontruksi kematian seorang napi di lapas tersebut. Kasus-kasus tersebut tidak hanya mengancam keselamatan jurnalis, tetapi juga melecehkan profesi kewartawanan dan mencederai kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Maraknya kasus-kasus ancaman pada jurnalis di daerah ternyata belum menjadi faktor pendorong berdirinya serikat pekerja pers di daerah. Penyelesaian kasus biasanya didasarkan pada solidaritas antar sesama jurnalis dengan menekan pihak-pihak yang terkait. Pada kasus Lampung, puluhan jurnalis berunjuk rasa ke Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Lampung, menuntut Kepala Kanwil mencopot Syamsul Rizal. Sayangnya, semangat solidaritas itu belum bisa mengarah pada kesadaran para jurnalis untuk berserikat dan mendirikan serikat pekerja di media masing-masing. Semestinya, serikat pekerja lah yang menjadi garda depan melindungi para anggotanya.

Strategi Gerakan Serikat Pekerja Pers

Di bandingkan dengan geliat serikat pekerja di sektor lain, serikat pekerja pers terasa tertinggal. Sampai detik ini belum terbangun persatuan serikat pekerja pers dari level daerah hingga nasional. Yang ada masih terbatas serikat pekerja pers tingkat perusahaan yang masih susah menggalang kerjasama yang lebih solid atau organisasi kewartawanan yang lebih menjurus pada organisasi keprofesian bukan pada watak serikat.

Jalan masih sangat panjang untuk mendorong terbentuknya serikat pekerja pers mulai dari level perusahaan, daerah hingga nasional. Pada tahap awal, organisasi profesi jurnalis mesti menetapkan diri bahwa selain sebagai organisasi profesi, mereka sekaligus juga serikat pekerja. Dari organisasi inilah, para anggota mengembleng diri, mencetak kader-kader yang berperan sebagai organizer penggerak serikat pekerja di perusahaan media masing-masing. Mulai dari serikat tingkat perusahaan lalu bersatu di federasi sampai pada level konfenderasi nasional. Di tingkat perusahaan perjuangan menyusun Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sebagai aturan main bersama antara karyawan dan perusahaan sangat penting dirumuskan. Tetapi dari 28 serikat pekerja pers, baru satu saja yang telah berhasil menggolkan KKB yaitu serikat pekerja pers di PT Abdi Bangsa yang mengelola harian Republika.

Soal Kesepakatan Kerja Bersama

Jumlah

Sudah berhasil menggolkan KKB (Kesepakatan kerja Bersama)

1

Tidak memperjuangkan KKB

5

Dalam proses memperjuangkan KKB

19

Belum berjalan

3

Total Serikat Pekerja

28

AJI Jakarta. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia

Konfederasi nasional serikat pekerja pers sangat dibutuhkan karena perjuangan tidak mungkin selesai, mandek hanya berkutat di perusahaan. Terutama pada taraf kebijakan seperti rencana revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan perbincangan penulis dengan beberapa rekan jurnalis, masih ada jurnalis yang belum menyadari bahwa nasibnya pun turut dipertaruhkan pada rencana revisi undang-undang tersebut. Padahal para jurnalis itu pernah bahkan sering meliput seputar kontroversi revisi. Mereka merasa masalah itu hanya menimpa para buruh pabrikan.

Organisasi membekali anggota tidak hanya dengan ketrampilan dan profesionalitas sebagai jurnalis semata, namun juga dibarengi dengan penumbuhan kesadaran dan kemampuan mengelola serikat. Pelatihan menyusun Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sama pentingnya dengan pelatihan jurnalisme investigasi. Membentuk jurnalis yang bekerja berdasar kaidah dan kode etik jurnalistik mesti dibarengi pula dengan menyuntikan kesadaran pentingnya berserikat. Menurut penulis, organisasi jurnalis yang telah secara tegas dan konsisten membangun serikat pekerja pers adalah AJI. Berjuang mewujudkan independensi, profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis merupakan tujuan utama AJI. Profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis mesti seiring sejalan. Bagaimana jurnalis bisa bekerja secara professional dan independent bila kesejahteraannya masih kurang.

Selain terus menjaga ruang kebebasan pers, melindungi para jurnalis dalam pelaksanaan tugas jurnalistik, AJI juga getol mengkampanyekan pentingnya serikat pekerja pers. Salah satunya pada bulan Mei lalu, AJI Jakarta meluncurkan program baru bertajuk “Sosialisasi Standar Upah Layak Minimum Jurnalis Jakarta”. Menurut Jajang Jamaludin, Ketua AJI Jakarta “Dengan menghitung kebutuhan konsumsi wartawan setiap bulan, didapat angka Rp.3,1 juta sebagai standar upah minimum untuk wartawan yang baru saja diangkat”.

Angka Rp. 3,1 juta diperoleh dengan menghitung pola konsumsi seorang jurnalis di Jakarta berdasarkan indeks harga konsumen saat ini. Semua kebutuhan, dari celana dalam hingga buku bacaan dihitung secara detail. Rencananya AJI Jakarta akan terus merilis angka standar upah minimum tiap tahunnya. Standar ini berguna sebagai acuan serikat pekerja pers ketika bernegosiasi dengan perusahaan.

Gaji Jurnalis Jakarta

Setelah diangkat menjadi karyawan tetap

Media

Gaji

Tempo

Rp. 2.250.000

Kontan

Rp. 2.300.000

Kompas

Rp. 3.260.000

Media Indonesia

Rp. 2.200.000

Bisnis Indonesia

Rp. 4.000.000

Republika

Rp. 2.200.000

Berita Kota

Rp. 1.200.000

Smart FM

Rp. 1.350.000

VHR

Rp. 1.500.000

KBR 68H

Rp. 3.200.000

Trans TV

Rp. 1.700.000

RCTI

Rp. 2.500.000

SCTV

Rp. 2.150.000

Metro TV

Rp. 2.800.000

Indosiar

Rp. 2.000.000

Lativi

Rp. 1.800.000

El Shinta TV

Rp. 1.700.000

Detik.com

Rp. 2.400.000

Lain dengan penetapan Upah Minimum Kota (UMK) yang berada di tangan walikota dan gubernur, AJI Jakarta lebih memilih menyosialisasikan standar upah minimum tersebut pada stakeholder yang terkait antara lain Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), perusahaan media dan organisasi jurnalis yang lain.

AJI Jakarta menempuh cara ini karena belum memungkinkan sektor jurnalis diatur tersendiri dalam UMK dan ditetapkan pemerintah. Sosialisasi dan dialog dengan pihak terkait sekarang ini dipandang lebih efektif. Sudah ada perusahaan media yang akan menaikkan upah jurnalisnya sesuai dengan standar minimum. Sedangkan perusahaan yang masih merugi berusaha menawar dengan menurunkan standar. Dalam hal ini, kebutuhan berserikat sangat dirasakan untuk bisa sejajar berunding dengan pihak perusahaan. Serikat pekerja pers tetap menjadi kendaraan utama menggapai kesejahteraan karena jurnalis juga buruh.

____,2002. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia. AJI Jakarta dan ACILS

____,2002. Kepuasan Anggota Terhadap Serikat Pekerja. Aliansi Jurnalis Independen

____,2001.Pekerja Pers: Berserikat untuk Kesejahteraaan dan Profesionalisme, AJI Jakarta,

Budiyanto, Rochman. 2000. Kesejahteraan Jurnalis, Antara Mitos dan Kenyataan

Dewanto, Nugroho (editor). 2003. The Many Paths of Reach The Goals. Experience of Press Worker unions in Fighting for Rights of Workers. Alliance of Independent Journalist

Haryadi, Edy. 2006. Mencermati Zaman Reaksi. Reporter Jakarta. AJI Jakarta

Hanggoro, Wisnu dan Iriawati, Irene. Wartawan dan Mutu Jurnalistik yang Rendah. http://www.freelists.org/archives/ppi//03-2006/msg00281.html


Wednesday, January 10, 2007

Peran Komunitas Masyarakat Sipil dalam Gerakan Buruh

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi 5

Peran komunitas masyarakat sipil

Dalam gerakan buruh

(S. Prapto).

Aktivis pada Sekretariat Perburuhan Institut Sosial - Jakarta

Tulisan ini hanyalah sebuah pengalaman pribadi selama berkecimpung di bidang perburuhan sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud oleh tema di atas atau bukan. Refleksi pengalaman saya ini jauh dari sempurna mengingat sudah banyak informasi yang termakan usia dan juga keterbatasan saya sendiri untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Tahun 1980-an merupakan kejayaan industri di Indonesia dengan capaian ekspor menggila ke seluruh penjuru dunia. Harapan akan datangnya kemakmuran hampir ditumpukan pada industri yang berkembang saat itu. Berbagai iming-iming yang ditawarkan negara baik kepada pemodal maupun buruh terdengar menggiurkan dengan konsep yang sangat menggoda yaitu terwujudnya hubungan industial pancasila (HIP). Insentif yang diberikan pada dunia usaha ibaratnya seperti memanjakan anak yang paling disayangi. Pembebasan pajak (holidaytax), stabilitas politik perburuhan, termasuk dipertahankannya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai satu satunya organisasi buruh yang boleh hidup di negara ini, merupakan bentuk dari insentif yang dimaksud di atas. Sayangnya, kemajuan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan pada buruh.

Aktivitas Buruh di Era Penunggalan Organisasi Buruh

Bersamaan dengan semakin tumbuhnya industri, aksi-aksi buruh menuntut peningkatan kesejahteraan juga meningkat, walau hasil akhir yang dituai buruh adalah pemutusan hubungan kerja. Aksi-aksi buruh sangat mudah diredam karena tidak didukung dengan organisasi yang solid dan masih kentalnya intervensi aparat keamanan dalam konflik perburuhan. Organisasi tunggal yang ”notabene” sebagai payung buruh justru ikut menjadi peredam efektif perjuangannya. Organisasi buruh tingkat pabrik/perusahaan tidak cukup mendapat perhatian dan penguatan dari induk organisasinya, malah terkesan dibiarkan tumbuh secara alami tanpa di back-up dengan program-program yang dapat memperkuatnya. Buruh bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin buruh terus dilakukan. Pengawasan terhadap aktivitas buruh, baik di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal diperketat dengan berbagai cara. Aparat lokal seperti RT/RW turut ambil bagian dalam sistem pengawasan terpadu yang dirancang oleh negara. Hal tersebut diperparah oleh oknum organisasi buruh yang memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadi. Mereka sering mendapat upeti dari pengusaha bila menyetujui tindakan penyingkiran terhadap pemimpin buruh yang dianggap vokal di dalam perusahaan. Tingkat represi yang demikian dahsyat tersebut, toh tidak menyurutkan buruh untuk terus memperjuangkan hak-haknya walau mereka tahu resiko yang bakal dihadapinya. Kesendirian buruh dalam memperjuangkan hak-haknya memicu munculnya keprihatinan sebagian kecil masyarakat sipil untuk mencoba ikut mendampingi dan memberikan pembelaan, khususnya hak-hak normatifnya. Kemunculan komunitas masyarakat sipil yang mengorganisir diri ke dalam lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Bantuan Hukum ataupun sejenisnya, setidaknya memberikan ruang bagi buruh untuk memulai mencari akses informasi maupun alternatif pembelaan hukum di luar organisasi buruh yang ada.

Dukungan dari organisasi masyarakat sipil terhadap perjuangan buruh kala itu, sedikit memberi harapan bagi buruh. Kasus demi kasus dapat diatasi walau hasilnya tidak maksimal. Setidaknya, buruh mempunyai kawan yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya, dan diajak secara bersama sama meneriakkan problem yang dialaminya. Disamping itu, perhatian dan pengawasan oleh negara terhadap perjuangan buruh mulai terpecah menjadi dua : pada LSM pemerhati buruh dan kepada buruh itu sendiri. Konflik perburuhan yang terjadi antara organisasi masyarakat sipil dan buruh, justru dapat menyambungkan relasi antar mereka. Kegiatan perburuhan mengalami peningkatan terutama di Jawa dan Sumatera (khususnya Medan). Kegiatan perburuhan seperti pendidikan perburuhan yang diinisiasi LSM perburuhan, cukup memberi warna tersendiri bagi pergerakan buruh saat itu. Selain tuntutan yang bersifat normatif, kepentingan politik buruh mulai muncul ke permukaan. Kebebasan berserikat buruh mulai menjadi perhatian kegiatan advokasi dan kampanye. Isu tersebut dimaksudkan untuk membuka ruang lebih luas bagi buruh untuk mengekspresikan kepentingannya. Kampanye tentang hak berserikat bagi buruh mulai berkumandang secara nasional maupun internasional. Aktivitas buruh secara berkelompok menjamur, demikian pula teater-teater buruh yang mengekspresikan kondisi perburuhan juga semakin semarak menghiasi kehidupan buruh. Meskipun kegiatan kegiatan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun frekuensi dan penyebarannya meluas dan terus meningkat.

Hubungan LSM - Buruh

Entah disadari atau tidak, bahwa kekosongan fungsi fungsi Serikat Buruh dari Organisasi Buruh Tunggal tersebut sedikit demi sedikit diisi oleh keberadaan komunitas masyarakat sipil seperti LSM, kelompok mahasiswa dan lembaga lembaga perburuhan lainnya seperti LBH. Pendidikan perburuhan, pembelaan, penerbitan media perburuhan, kesenian, kegiatan pengembangan sosial ekonomi buruh merupakan bentuk dukungan yang dikembangkan oleh organisasi sipil kepada buruh guna memperkuat posisi tawarnya. Para aktivis LSM dan sejenisnya, turun langsung ke dalam komunitas buruh melakukan pengorganisiran melalui berbagai kegiatan. Pendidikan hukum perburuhan dan ketrampilan beradvokasi, lebih dominan dari kegiatan lainnya. Kegiatan pendidikan dipusatkan di kontrakan buruh atau pun di rumah-rumah yang disediakan oleh LSM perburuhan. Target utama dari kegiatan pendidikan tersebut adalah selain untuk meningkatkan posisi tawar, juga untuk menumbuhkan kader-kader yang berkualitas dari kalangan buruh itu sendiri. Kepada kelompok buruh juga diberi pendidikan ketrampilan menangani kasus, ketrampilan berunding dan lain sebagainya. Kader kader buruh tersebut dipersiapkan untuk menduduki atau merebut kepemimpinan didalam kepengurusan organisasi buruh tingkat pabrik/perusahaan yang nantinya dapat melakukan perubahan kondisi perburuhan di tempat kerjanya melalui perundingan perjanjian kerja bersama (PKB). Dengan PKB, setidaknya buruh akan mendapat kepastian hak dari pengusaha. Minimalisasi konflik yang melibatkan unsur-unsur dari luar buruh pun dapat terjadi.

Namun pada prakteknya, tidak seluruh harapan diatas dapat berjalan dengan sendirinya. Represifitas negara kepada buruh pun tidak surut, bahkan banyak kader baru yang muncul dari hasil kegiatan dengan LSM atau sejenisnya itu tersingkir dari perusahaan. Biasanya pengusaha mengetahui hal itu ketika ada buruh yang mempunyai pemikiran lebih kritis dibandingkan yang lainnya. Dari pengalaman seperti itu, maka dalam penentuan langkah-langkah yang akan diambil untuk buruh, faktor keamanan buruh akan menjadi pertimbangan pertama didalam mengambil keputusan. Namun banyak pula LSM yang mengabaikan faktor keamanan buruh tetapi lebih mempertimbangkan popularitas lembaganya. Ketika kasus terjadi, seperti pemogokan, PHK dan sebagainya, peranan buruh untuk ambil posisi di depan seringkali terkalahkan oleh keterpaksaan situasi dan atau popularitas LSM itu sendiri. Banyaknya kader buruh yang tersingkir dari pabrik membuat banyak pihak agak frustrasi terutama di kalangan buruh sendiri. Situasi seperti itu dicoba didinamisir kembali melalui pertemuan-pertemuan antar kelompok buruh untuk saling sharing pengalaman.

Jaringan antar kelompok buruh dikelola melalui kegiatan pelatihan ataupun event lain seperti pentas seni teater buruh yang dilanjutkan dengan sharing pengalaman dan lain sebagainya. Kegiatan jaringan antar buruh biasanya dilakukan antar kelompok dampingan masing-masing LSM atau organisasi sipil lainnya atau istilah kerennya kapling masing-masing. Mengapa demikian? Ada anggapan yang hidup di kalangan aktivis LSM bahwa eksistensinya di publik sangat ditentukan oleh seberapa besar relasinya dengan buruh. Hal tersebut juga akan menentukan seberapa besar akses yang bakal diperoleh dari publik. Tentunya termasuk untuk memperoleh ruang politik dan sumber daya lainnya. Inisiatif mempertemukan kelompok buruh antar kapling diatas baru muncul tahun 1991-an sehubungan dengan kasus pemogokan di PT Gajah Tunggal Tangerang yang melibatkan 13.000-an buruh dan terbunuhnya aktivis buruh dari Surabaya, Marsinah. Forum LSM ini selain mengadvokasi kasus-kasus besar perburuhan, juga dalam perjalanan selanjutnya berkembang ke arah advokasi dan kampanye isu besar di bidang perburuhan seperti kebijakan intervensi militer dalam konflik perburuhan dan kebebasan berserikat bagi buruh. Uji coba kampanye kebebasan berserikat diawali dengan menggelindingkan Organisasi Buruh di luar SPSI. Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMSK) yang dikomandoi alm. HJC Princent dan Saut Aritonang dan juga Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pimpinan Dr Mochtar Pakpahan, SH mendapat tekanan yang begitu dahsyat dari negara. Keduanya memang tidak dibubarkan atau dilarang, tetapi juga tidak diakui oleh negara. Percobaan untuk membuka dinding tebal yang mengurung kebebasan buruh untuk berserikat setidaknya menjadi dinamika tersendiri bagi buruh untuk mulai memberanikan diri memilih organisasi buruh alternatif.

Selain ke dua organisasi buruh diatas, jaringan buruh antar kota pun muncul walau aktivitasnya masih sangat terbatas. Agenda utama jaringan ini adalah advokasi kasus Marsinah dan diskusi-diskusi yang materi dan segala sesuatunya telah dipersiapkan oleh Forum LSM. Disini belum muncul gagasan tentang kemana arah dari jaringan buruh antar kota (JBAK), sehingga belum ada sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk program. Koordinasi JBAK dengan kawan-kawan LSM biasanya dilakukan menjelang event-event tertentu seperti peringatan terbunuhnya aktivis buruh Surabaya, Marsinah atau event besar lainnya. Jaringan Buruh Antar Kota sendiri setiap akhir tahun (biasanya pada malam tahun baru) bersama Forum LSM mengadakan pertemuan besar dengan agenda laporan perkembangan di masing-masing wilayah kerja JBAK (Bandung, Jabotabek, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan pengembangan wawasan dengan pemateri dari kawan-kawan LSM. Informasi seputar perkembangan situasi makro yang berdampak pada kebijakan nasional seperti Rancangan Undang Undang Pokok Ketenagakerjaan No 25 Tahun 1995 menjadi pokok bahasan. Pergerakannya pun masih terbatas pada event-event seperti itu. Penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Pokok Ketenagakerjaan Tahun 1995 menjadi bagian yang diadvokasi Jaringan Buruh Antar Kota dan Forum LSM kala itu.

Terbitan-terbitan seperti buletin, selebaran, leaflet, poster dan lain sebagainya dijadikan sarana komunikasi antar kelompok di JBAK. Seberapa pengaruhnya terhadap pengetahuan buruh memang sulit teridentifikasi karena tidak ada tolak ukurnya. Bahwa terbitan tersebut tersebar kepada buruh dapat dipastikan. Namun isinya dapat dimengerti atau tidak, juga tidak dapat diketahui. Terbitan untuk buruh sangat diperlukan, baik untuk propaganda maupun sebagai alat penyadaran bagi buruh. Kawan-kawan aktivis LSM sangat menyadari akan keterbatasan untuk memperluas relasi dengan buruh maka salah satu pilihannya adalah dengan memproduksi terbitan. Pendistribusiannya sendiri dilakukan secara tersembunyi untuk menghindari penangkapan maupun meminimalkan resiko bagi buruh yang membawanya.

Gagasan Reposisi LSM – Buruh

Pertemuan terakhir antara Jaringan Buruh Antar Kota (JBAK) dengan kawan kawan LSM pada akhir tahun 1995 di Bandung, telah melahirkan kesepakatan tak tertulis tentang pembagian peran antara kelompok buruh dengan komunitas ”kelas menengah” (istilah yang digunakan kawan kawan LSM). Pengorganisasian buruh, termasuk pengelolaan jaringan, akan diserahkan sepenuhnya kepada JBAK. Sementara itu kawan-kawan LSM akan mengambil peran untuk menyiapkan materi pendidikan untuk buruh dan memfasilitasi event-event besar yang diselenggarakan oleh JBAK. Langkah awal kawan-kawan LSM untuk peran baru tersebut adalah dengan diselenggarakannya dialog nasional perburuhan di Bandung untuk mencoba merumuskan kebutuhan materi pendidikan untuk buruh. Mereka mencoba memotret perkembangan perburuhan tingkat makro dan kaitannya dengan kebijakan perburuhan nasional berikut dampak negatifnya. Namun sayang, kelanjutannya tidak jelas.

Kesepakatan untuk reposisi pun tidak berjalan mulus lebih disebabkan oleh kesiapan masing masing LSM yang berbeda-beda. Mereka bingung bila reposisi tersebut sungguh-sungguh direalisasikan. Bagi lembaga yang siap dengan reposisi tersebut memang dengan mudah dapat menjalaninya, tetapi bagi lembaga-lembaga yang kapasitasnya terbatas, kemudian lebih memilih kembali pada perannya semula, yakni melakukan pengorganisasian. Meskipun ia tahu bahwa tugas pengorganisasian sudah dapat dilakukan oleh buruh sendiri. Kelangsungan kesepakatan Bandung menghilang ketika krisis ekonomi terjadi. Komunikasi antar kelompok yang tergabung di JBAK terputus. Masing-masing sibuk menghadapi banyak kasus PHK massal di wilayah masing-masing. Dalam situasi krisis inilah kemudian yang mengkaburkan ulang hubungan buruh – LSM.

Reformasi yang digulirkan tahun 1998, adalah babak yang sangat penting bagi kelompok-kelompok buruh yang tergabung dalam JBAK maupun kelompok buruh di luar JBAK. Puluhan Serikat Buruh muncul dari kelompok-kelompok itu. Masing menunjukkan eksistensinya dengan aneka ragam cara. LSM yang menjadi pendampingnya pun ikut berlomba membidani lahirnya Serikat Buruh, bahkan ikut masuk dalam struktur organisasi Serikat Buruh. Konflik kepentingan pun mulai muncul di dalam Serikat. Di satu sisi, pemimpin yang berasal dari buruh menghendaki independensi Serikat dari unsur non buruh (LSM). Sementara aktivis asal LSM tetap ingin diakui eksistensinya untuk menjadi pengurus Serikat. Perpecahan pun tidak dapat dihindari. Serikat Buruh tidak semakin menguat tapi justru semakin melemah.

Sesungguhnya formasi LSM – Buruh dapat dibangun melalui mekanisme kerjasama hasil dialog antara keduanya. Kerjasama tersebut dapat dinegosiasikan secara terus menerus sepanjang masing-masing pihak tetap berkepentingan. Model relasi semacam ini, selain menghindari konflik, juga dapat mendorong pendewasaan keduanya. Masing-masing pihak dapat mengelola kepentingannya secara mandiri tanpa ada yang merasa di intervensi.

Saat ini telah banyak pemimpin buruh muda yang cukup progresif yang diharapkan akan membawa perubahan besar dalam gerakan buruh di masa mendatang. Oleh karena itu, ruang untuk mengekspresikan dirinya harus dibuka selebar mungkin agar perubahan yang diharapkan, sungguh-sungguh terjadi.

Akses terhadap informasi, pengembangan kapasitas bagi Serikat Buruh masih bisa dikerjakan lembaga-lembaga di luar buruh dengan tujuan memperkuat organisasi Buruh.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?