Sunday, March 30, 2008

Riset dan Konsientisasi: Pendekatan Freirean dalam Konteks Perburuhan

Riset dan Konsientisasi:

Pendekatan Freirean dalam Konteks Perburuhan

Oleh M. Sumartono

Aktivis Perburuhan, Bekerja di SPIS Jakarta

Pengantar

Catatan pendek ini berawal dari pengalaman bahwa semakin banyak serikat-serikat buruh yang meminati riset sebagai bagian dari kerja-kerja mereka. Kenyataan tersebut amat berbeda bila dibandingkan dengan kurun waktu 10 tahun lalu yang menunjukkan bahwa studi-studi sistematis mengenai perburuhan masih didominasi oleh kalangan akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat atau lembaga-lembaga studi. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, kencenderungan itu sudah mulai bergeser, bahwa buruh atau serikat buruh bukan lagi menjadi bahan studi, melainkan mulai menjadi pelaku studi itu sendiri. Dengan kata lain, persoalan perburuhan tidak hanya dilihat dari kaca mata pihak luar, melainkan juga dari perspektif buruh sendiri.


Tulisan pendek ini semata-mata hendak mencoba merefleksikan atas pengalaman yang kiranya cukup menggembirakan belakangan ini yakni keterlibatan serikat buruh dalam melakukan berbagai riset untuk kepentingan mereka sendiri. Refleksi ini berawal dari sebuah pertanyaan: sejauh mana manfaat pandangan dari dalam dan dari luar, untuk konteks riset masalah perburuhan dewasa ini?


Titik tolak dan beberapa pandangan

Refleksi pendek ini hendak menggunakan pendekatan Freirean sebagai acuan. Pendekatan Freirean merupakan sebuah istilah untuk menyebut aliran pemikiran yang acuan utamanya berasal dari Paulo Freire yang sudah dikenal luas sebagai seorang pendidik revolusioner dari Brazil. Freire yang meninggal 2 Mei 1997 lalu pada usia 75 tahun, bukan saja telah melahirkan sebuah sistem pemikiran, teoritisi sosial dan pendidikan, tetapi juga telah menjadi ikon pembebasan dan gerakan sosial kaum miskin di muka bumi ini. Hampir dipastikan bahwa para aktivis gerakan sosial mengenal dia berikut pemikirannya. Sekedar menyederhanakan saja, beberapa kata kunci yang kurang lebih dapat merangkum pemikiran Freire seperti konsientisasi, humanisasi, pendidikan kritis, praksis, revolusi kebudayaan, budaya bisu dan masih banyak lagi. Cakupan pemikiran Freire sedemikian luas dan apabila diurai akan menempati ruang-ruang filsafat (manusia & epistemology), psikologi bahasa, metode pendidikan, sosiologi pengetahuan dan politik pembebasan. Pemikiran Freire secara historis amat dipengaruhi oleh eksistensialisme Prancis, psikoanalisa Fromm, fenomenologi Huserl, Marxisme, teori kritis dan katolisisme (Collins, 1987). Kekayaan pemikiran Freire bukan saja campuran dari berbagai aliran pemikiran yang secara teoritis berkembang pada jamannya, tetapi lebih-lebih oleh kenyataan historis yang mendera Brazil di mana Freire menjadi bagian dari kenyataan tersebut. Ia melahirkan teori tidak hanya dari kontemplasi sepi di balik meja, tetapi juga dari keterlibatan konkrit pemberantasan buta huruf bagi kaum miskin di Brazil. Dalam konteks tulisan pendek ini, tidak semua pemikiran Freire diurai, tetapi hanya soal konsientisasi yang kiranya relevan sebagai kerangka refleksi untuk melihat riset perburuhan. Oleh karena itu, pendekatan Freirean merujuk pada penggunakan sebagian pemikiran Freire sebagai kerangka analisis dan refleksi dalam kaitannya dengan riset perburuhan.


Konsientisasi merupakan istilah khas yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Freire sendiri. Menurut Freire, konsientisasi adalah sebuah proses dialektis di mana kaum miskin dan tertindas makin lama makin sadar akan situasi ketertindasannya dan kemudian berkehendak untuk mengubah kondisinya. Proses dialektis yang dimaksud adalah aksi-refleksi-aksi yang kemudian menjadi kesatuan praksis. Konsep ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa realitas (social) yang ada, secara historis bukan sesuatu yang jatuh dari langit (give) tetapi dibentuk (constructe) oleh manusia. Asumsi ini hampir sama dengan pandangan sosiolog Amerika Peter L. Berger yang memandang bahwa eksistensialitas manusia dalam masyarakat itu terjadi melalui proses dialektis yakni eksternalisasi, objectivasi dan internalisasi (Berger. 1982).


Riset merupakan upaya sistematis dan ilmiah dalam menangkap, mengurai dan menjelaskan realitas sosial-masyarakat dengan menggunakan metodologi dan ukuran-ukuran tertentu. Oleh karena itu, riset selalu berkaitan dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah aktivitas subyektif manusia yang berkaitan dengan usaha kognitif untuk “mengetahui” suatu objek yang berada di luar dirinya yakni kenyataan atau realitas. Jadi, pengetahuan adalah khas hanya dimiliki manusia karena memiliki akal budi, bahasa dan organ inderawi. Secara epistemologis, ilmu pengetahuan hanyalah salah satu jenis pengetahuan manusia. Riset adalah salah satu upaya manusia untuk menguji pengetahuan dan mereproduksi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu proses riset secara subyektif merupakan pengembaraan dan secara obyektif penjelajahan ilmu pengetahuan manusia. Sederhananya, pengetahuan kita tentang itik tidak hanya sebatas binatang berkaki dua, tetapi melalui riset akan diperoleh pengetahun semakin utuh. Keutuhan pengetahuan tentang kita tentang itik akan lebih luas seperti: struktur tubuh, cara berkembang biak, cara hidup, cara merawat anak itik, makanan yang dimakan dst.


Riset sosial mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik dari sisi epistemologi maupun metodologinya. Pada umumnya riset sosial dalam kaitanya sebagai bagian dari ilmu sosial berfungsi sebagai legitimasi sosial, rekayasa sosial dan kritik sosial (Kleden, 1984). Fungsi legitimasi sosial menempatkan ilmu sosial sebagai medium pengurai, penjelas dan pemberi argument atas kenyataan sosial yang berlangsung. Rekayasa sosial adalah peran ilmus sosial sebagai pemandu praktis dan normative untuk upaya transformasi sosial masyarakat situasi yang lebih baik. Sedangkan fungsi kritik sosial menempatkan ilmu sosial sebagai kontrol atas gejala sosial yang terjadi atas dasar prinsip-prinsip normatif, keberlangsungan hidup bersama dalam konteks kultural tertentu. Dalam konteks ini, persoalan perburuhan merupakan salah satu kenyataan sosial-historis yang selalu menantang hingga hari ini. Dari sisi proses dan hasilnya, riset merupakan elemen fundamental dari ketiga fungsi tersebut.


Mengapa persoalan perburuhan? Masalah perburuhan merupakan masalah yang sepanjang sejarah sedemikian dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu. Buruh sebagai entitas sosial, bukan saja menjadi kerumunan kelas tetapi juga menjadi kekuatan politik dalam sejarah. Buruh sebagai realitas sosial dapat diteropong dari berbagai sisi ilmu sosial seperti ekonomi, sosiologi, politik, hukum dan antropologi. Pokok soal dari masalah perburuhan adalah bahwa buruh merupakan manusia-manusia konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu. Mereka bukan sekedar kawanan atau kerumunan. Sisi kemanusian buruh terletak pada atribut inderawi yang melekat padanya seperti rasa takut, cemas, gembira, marah, motivasi, cita-cita, harapan, cara pandang, cara berkomunikasi, berorganisasi dan seterusnya. Dalam konteks eksistensialitasnya, kenyataan sosial buruh amat berkaitan langsung dengan eksistensi lainnya seperti alat kerja, pabrik, pengusaha, pemerintah, konsumen produknya, lingkungan sekitar, keluarga atau kerabatnya, tempat tinggalnya dan sebagainya. Dengan kata lain, hidup-matinya buruh sangat tergantung pada faktor-faktor lain di luar dirinya. Sebagai contoh, besaran pendapatan yang diterima seorang buruh ditentukan dari balik meja gubernur yang menerbitkan surat keputusan upah minimum. Jenis makanan yang dimakan dan berapa lama bekerja ribuan buruh pabrik sepatu Nike di Tangerang secara tidak langsung ditentukan oleh keputusan seorang Phil Knight, bos Nike di Beverton, markas besar perusahaannya. Dengan kata lain, apapun kondisinya kehidupan buruh amat ditentukan oleh relasi kekuasaan, entah modal entah politik dan perkawinan keduanya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak seluruh buruh memahami kondisi mereka sendiri yang sebenarnya, penyebab dan akibatnya. Salah satu penyebabnya adalah yang dalam terminologi Freire disebut budaya bisu (culture of silence) yang terjadi di kalangan buruh (Freire, 1985).


Dalam konteks persoalan perburuhan yang terjadi akhir-akhir ini, pertanyaan yang segera muncul adalah apa arti penting riset dan konsientisasi bagi gerakan buruh ke depan? Masih relevankah pendekatan Freire digunakan untuk meneropong kondisi perburuhan yang terjadi di Indonesia


Titik tolak epistemologi dalam riset: Habermas dan Freire

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kegiatan riset selalu berkaitan dengan pengetahuan, dari yang paling konkrit hingga yang abstrak; dari yang kasat mata hingga yang tersembunyi. Pengetahuan adalah sebuah entitas yang selalu melibatkan unsur subyektifitas manusia yang “mengetahui” dan unsur obyek yang “diketahui”. Epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan adalah ilmu yang berkutat pada soal kebenaran, validitas, pendekatan, metode, fungsi maupun sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia. Epistemologi akan mempertanyakan soal-soal tersebut den mencoba mencari jawabannya. Contoh sederhana: apakah pengetahuan itu bersifat subyektif atau obyektif? Bagaimana diketahui bahwa seseorang itu “mengetahui” sesuatu? (Sudarminta, 2001). Sebagai sebuah disiplin ilmu filsafat, epistemologi memiliki beberapa pendekatan dan aliran. Misalnya, epistemologi klasik yang ditemukan sejak jaman filsuf-filsuf Yunani dan epistemologi modern sejak abad pertengahan. Banyak ahli menengarai bahwa aliran klasik lebih menempatkan individualitas pengetahuan, sedang aliran modern mencoba menempatkan kolektivitas. Oleh karena itu, mulai tahun 70-an mulai diperdebatkan soal epistemologi sosial yang mencoba mempelajari soal dimensi sosial atas pengetahuan dan informasi. Tesis utama dari epistemologi sosial adalah bahwa setiap pengetahuan atau ilmu pengetahuan lahir dari sebuah konteks sosial tertentu. Hampir sama dengan sosiologi pengetahuan yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sistem pemikiran sangat dipengaruhi dan terbentuk oleh situasi masyarakat tertentu. Setiap sistem pemikiran dan ilmu pengetahuan yang dilahirkan selalu menjadi bagian dari sistem pemikiran yang sudah ada dan turut membentuk konteks masyarakat yang melahirkannya. Titik temu dari epistemologi sosial dan sosiologi pengetahuan terletak pada karakter kolektivitas pemikiran maupun pengetahuan dalam sejarah (Mannhein, 1991)


Dalam ruang yang terbatas ini, saya tidak akan mengurai penjang lebar soal epistemologi, melainkan hendak memperkenalkan beberapa pemikiran epistemologis dari beberapa tokoh yang kiranya relevan dengan tema ini. Fokus yang hendak dibahas dalam refleksi ini lebih pada beberapa pendasaran epistemologis mengenai riset dan konsientisasi, khususnya untuk melihat fakta sosial buruh. Tesis utama yang saya ajukan soal riset dan konsientisasi dalam melihat kondisi buruh adalah; pertama, riset dilihat sebagai salah satu instrument untuk meneropong persoalan perburuhan secara benar, menyeluruh, terpercaya dan bertanggung jawab, secara metodologis perlunya melibatkan buruh sebagai pelaku riset itu sendiri. Kedua, bahwa dalam konteks perburuhan, riset bukan saja sebagai aktifitas akademis tetapi juga sebagai bagian dari upaya pengorganisasian, penyadaran dan perubahan kondisi agar menjadi lebih baik. Ketiga, menempatkan buruh sebagai pelaku utama dan memiliki kontribusi yang signifikan terharap perubahan yang dicita-citakan.


Riset dan konsientisasi bukanlah isu yang sama sekali baru, bahkan sudah ada sejak abad 19 lalu di mana Marxisme dan turunannya mendapatkan tempat istimewa dalam gerakan sosial dan pemikiran pada waktu itu. Isu ini sengaja saya munculkan untuk mengingatkan kembali dalam konteks kekinian. Sebagai titik tolak refleksi, saya mencoba mengacu pada beberapa pemikir yakni Habermas dan Freire.


Jurgen Habermas adalah salah seorang generasi pembaharu Teori Kritis mazhab Frankfurt yang bukan saja mengatasi kebuntuan teoritis pendahulunya, tetapi juga berhasil menyegarkan kembali program teori kritisnya. Berkaitan dengan perkembangan ilmu pengatahuan, ia merefleksikan dan menawarkan pemikiran tentang epistemologi. Apa yang ia tawarkan adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan selalu diletakkan dalam konteks perkembangan masyarakat. Di balik perkembangan ilmu pengetahuan, terdapat ideologi yang menyertainya.

Pertama, ilmu pengetahuan instrumental (instrumental knowledge). Dalam konteks ini, Habermas hendak memperlihatkan bahwa setiap perkembangan ilmu pengetahuan akan membawa kepentingan ideologis tertentu yakni kepentingan penguasaan. Penemuan-penemuan dalam berbagai bidang ilmu alam dan teknologi adalah gambaran nyata dari proses tersebut. Perkembangan teknologi bukan saja memudahkan hidup manusia dalam banyak hal tetapi sekaligus memerangkapkan manusia ke dalamnya. Manusia kemudian menempatkan ilmu dan teknologi sebagai alat untuk penguasaan dan eksploitasi. Demikian halnya dalam ilmu-ilmu sosial juga tidak lolos dari perangkap ini. Sebagai contoh, ilmu-ilmu sosial yang melihat bangsa-bangsa primitif dipakai untuk kepentingan kolonisasi dan seterusnya.


Kedua, ilmu pengetahuan hermeneutic (hermeneutic knowledge). Ilmu pengetahuan hermeneutic adalah pandangan yang menempatkan ilmu sebagai alat untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Ia bertitik tolak dari perkembangan ilmu-ilmu positif sebagai alat untuk meneropong kenyataan dengan pendekatan, obyek dan metode yang spesifik. Dalam konteks ini, Habermas mencoba memperlihatkan soal netralitas dan kebebasnilaian ilmu atas obyek yang diamatinya. Dengan kata lain, Habermas juga ingin memperlihatkan soal ketidakberpihakan ilmu terhadap perkembangan masyarakat dalam konteks sejarah tertentu. Dalam konteks ilmu sosial, ia juga mengkritik atas penggunaan pendekatan ilmu-ilmu alam (positivisme) untuk melihat persoalan masyarakat.


Ketiga, ilmu pengetahuan emansipatoris (emancipatory knowledge). Dalam konteks ini, Habermas menawarkan sebuah harapan tentang kebuntuan dan frustasi yang dialami atas perkembangan ilmu sosial pada waktu itu. Di tangan Habermas, ilmu sosial kini mendapatkan jalan terang dari rasa kebuntuan. Menurut Habermas, problem kebenaran pada ilmu sosial bukan terletak pada kepastian, tetapi pada kesepakatan yang dicapai melalui diskursus. Oleh karena itu, riset-riset yang dilakukan untuk pengembangan ilmu sosial bukanlah sebuah aktivitas yang sepi dan tersembunyi, melainkan suatu tindakan komunikasi yang melibatkan banyak orang. Pada dasarnya, perkembangan maupun fungsi ilmu pengetahuan membutuhkan ruang public bersama yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi.


Dari uraian tersebut, Habermas bukan saja menawarkan pokok-pokok epistemologi, tetapi juga persoalan etis, bagaimana ilmu pengetahuan sendiri digunakan dan berperan dalam konteks perkembangan manusia dan masyarakat.


Selain Habermas, tokoh pemikir yang akan menjadi acuan refleksi adalah Paulo Freire sendiri yang menjadi bahasan utama dalam tulisan ini. Pemikiran Freire tentang epistemologi meliputi soal apa itu realitas, manusia sebagai subyek yang mengetahui dan metodologinya. Berikut uraian masing-masing:


Realitas dan humanisme dalam epistemologi Freire

Bagi Freire, keberadaan manusia tidak mungkin terlepas dari dunia di mana manusia hidup. Oleh karena itu, kaitannya dengan dunia, manusia memiliki orientasi melalui bahasa dan pemikiran bukan sekedar berada di dunia, melainkan juga mampu untuk menamainya. Freire menempatkan realitas sebagai bagian dari kesadaran dan ketaksadaran manusia. Pertama, realitas dialami oleh manusia sebagai sebuah proses. Realitas adalah pengalaman manusia yang menyejarah yakni berproses dalam ruang dan waktu. Kedua, pemahaman manusia tidak akan pernah lepas dari keterkaitan intrinsiknya dengan dunia melalui pemikiran dan bahasa. Manusia mengenal dunia realis melalui olah pikir dan dengan bahasa, manusia mampu mendefinisikan realitas. Ketiga, manusia berbeda dengan hewan dan mahluk lain. Manusia bersifat historis dan hewan a-historis. Historisitas manusia terletak pada kesanggupan manusia mengatasi ruang dan waktu masa lampau, kini dan masa depan. Eksistensialitas manusia ada bagi yang lain, sementara hewan hanya bagi dirinya. Hal mendasar perbedaan manusia dengan hewan selain sifat historisitasnya adalah bahwa manusia tahu bila dirinya berbeda dengan hewan. Manusia mampu merefleksikan pengalaman dirinya sebagai bagian dari kesanggupannya untuk mengubah realitas, lebih spesifik realitas ketertindasannya. Keempat, tugas eksistensialitas manusia adalah praksis. Praksis adalah kesatuan dialektis antara aksi dan refleksi yang menurut Freire hanya dapat dilakukan oleh manusia. Melalui praksislah manusia memaknai dunia dan budayanya. Praksis utama manusia adalah humanisasi yakni perjuangan terus menerus manusia agar menjadi lebih manusiawi oleh karena adanya proses dehumanisasi. Kelima, kesejarahan manusia tidak pernah tuntas. Ketidaktuntasan (unfinished) tersebut terletak pada karakteristik manusia yang bukan saja sebagai mahluk “mengada” tetapi juga “menjadi”. Jadi kesadaran manusia atas realis dunia kulturalnya bukanlah sesuatu yang sudah ada (give), melainkan terbentuk (constructed). Keenam, setiap manusia manusia memiliki panggilan ontologis yakni menjadi subyek dan memaknai dunia. Menjadi subyek karena manusia memiliki kesanggupan untuk merefleksikan pengalamannya, mampu menyadari realitas diri dan dunianya serta selalu dalam proses menjadi. Memaknai dunia berarti kesanggupan manusia untuk mencipta dan mentrasformasi sejarah menuju situasi yang lebih humanis. Ketujuh, berpikir dan mengetahui tidak terbebaskan dari sejarah dan kebudayaan. Karena realitas adalah sebuah proses, berpikir dan mengetahui juga tidak pernah selesai. Berpikir dan berbahasa merupakan proses untuk menciptakan pengetahuan. Bahasa merupakan mediasi antara realis dengan subyek yang mengetahui. Kedelapan, subyektivitas dan obyektivitas tidak dapat dipisahkan di dalam proses memahami. Kesadaran subyek yang benar adalah kesadaran yang mencerminkan realitas. Kesembilan, memahami dan menciptakan pengetahuan merupakan sebuah aktivitas sosial. Bagi Freire, bahwa “saya berpikir” adalah bagian dari “kita berpikir”. Jadi pengetahuan dan upaya memahami memiliki karakter kolektif dan kesadaran terbangun melalui kolektivitas tersebut.


Dari luar dan dari dalam: memadukan pendekatan riset

Bila merunut pada pemikiran baik Habermas maupun Freire, dapat ditemukan bahwa keduanya hendak meletakkan manusia sebagai subyek atas realitas yang ada di luar dirinya. Dari dua pemikir tersebut, kita dapat menemukan ilham yakni pendasaran filosofis berkaitan dengan penelitian dan sekaligus memanusiakan, terutama bagi yang miskin dan lemah. Berkat insight dari kedua pemikir tersebut, secara metodologis berkembang model-model riset yang dikombinasi dengan model pemberdayaan kaum lemah. Maka muncullah apa yang kini kita kenal dengan beberapa istilah seperti riset partisipatoris, participatory rural appraisal, community mapping, teater rakyat dan sebagainya. Model riset partisipatoris semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Robert Chambers dan Rajesh Tandon yang mengadopsi pemikiran Freire ke dalam metodologi riset sebagai cara memberdayakan masyarakat miskin.

Landasan filosofis dan metodologis pemikiran Habermas dan Freire, kiranya masih relevan bilamana diletakkan dalam upaya untuk melihat lebih dekat persoalan perburuhan yang makin hari makin kompleks. Kompleksitas persoalan perburuhan bukan hanya datang dari faktor eksternal yang langsung dan tidak langsung menentukan hidup-matinya, tetapi juga kondisi internal buruh sendiri dari sisi personal maupun organisasional. Bila diurai secara abstrak, kenyataan dan fenomena buruh dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, secara kultural merka berasal dari berbagai latar belakang daerah, etnis, agama dan budaya. Suasana psikologis dan identitas dirinya juga turut dibentuk oleh ritme kerja teknis dan relasi kekuasaan dalam proses produksi serta kondisi luar pabrik yang penuh paradoksal. Kedua, secara ekonomis, buruh menjadi sebuah kekuatan produksi yang menghidupi industrialisasi yang keberlanjutannya berada di tangan modal, regulasi dan pasar. Ketiga, secara sosial buruh menjadi sebuah kelas yang belum selesai mendefinisikan diri dan orientasinya. Keempat, secara struktural politis, buruh masih belum beres membentuk medium perjuangannya dan belum tuntas merumuskan peran politisnya demi sebuah cita-cita kesejahteran dan keadilan industrial. Pada intinya persoalan buruh adalah sebuah rimba belantara yang belum seluruhnya dihinggapi oleh para musafir akademis maupun aktivis.


Merenungi kondisi perburuhan yang sedemikian kompleks, kiranya upaya memotretnya membutuhkan berbagai pendekatan baik secara teoritis maupun metodologis. Secara teoritis membutuhkan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan karakteristik masing-masing. Secara metodologis, perlunya pendekatan dari dalam (emi) dan dari luar (eti) dalam melihat fenomena sosial buruh. Pendekatan dari dalam, hendak meneropong realitas buruh menurut cara pandang buruh dalam melihat dirinya. Sedangkan pendekatan dari luar hendak menempatkan cara pandang pihak luar dalam melihat buruh. Keduanya sama-sama penting dalam rangka menempatkan buruh sebagai subyek transformasi.


Dalam konteks riset perburuhan, secara teknis metodologis terdapat seperangkat pendekatan yang dapat digunakan untuk meneliti kondisi buruh di Indonesia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan, baik oleh kalangan akademisi, NGO maupun aktivis. Upaya yang masih perlu dikembangkan adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin buruh dan organisasi buruh dalam menempatkan riset sebagai habitus gerakan dan perjuangannya. Meskipun bukan sebagai resep baku, pendekatan riset kuantitatif dan kualitatif kiranya dapat dijadikan acuan bagaimana meneliti buruh yang bukan saja dapat mengungkap fenomena, tetapi juga menggerakkan perubahan.

Karakteristik

Pendekatan riset sosial


Kuantitatif

Kualitatif

Jenis data

Angka-angka

Kasus-kasus

Metode pengumpulan

Laboratories, simulasi, angket

Wawancara, diskusi terfokus, observasi, refleksi

Responden

Lebih banyak

Lebih spesifik

Ruang lingkup peneltian

Keluasan data

Kedalaman data dan pengalaman

Cara pandang

Rasionalistik

Naturalistik

Proses

Penelusuran dari luar

Penelusuran dari dalam

Kecenderungan analisis

Fungsionalis

Interpretatif

Orientasi hasil

Positivistik

Konstruktivistik-etnografis

Relasi peneliti-responden

Responden sebagai obyek

Responden sebagai subyek

Model komunikasi

Monologis

Dialogal

Diolah dari berbagai sumber


Penutup

Dari berbagai uraian di atas dapat dirangkum beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kondisi perburuhan adalah realitas sosial yang dinamis dan selalu berubah, sehingga menuntut adanya penyegaran teoritis dan pluralitas metodologis dalam proses memahaminya.

Kedua, secara epistemologis titik temu antara pandangan Habermas dan Freire terletak pada konsep partisipatoris dan komuniksi dialogal dalam memproduksi pengetahuan dan kesadaran. Keduanya sama-sama menempatkan sifat sosial dan kolektivitas lahirnya pengatahuan.

Ketiga, sebagai ranah refleksi, riset dan konsientisasi dalam konteks perburuhan adalah upaya untuk menempatkan kembali buruh sebagai subyek pelaku yang punya hak untuk mengubah dan menciptakan sejarahnya sendiri dalam rangka perubahan yang lebih baik. Riset tetaplah hanya alat yang memerlukan instrumen lain sebagai bagian dari habitus perjuangan yang berkontribusi terhadap perbaikan kondisi.




Pustaka rujukan

Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Collins, SJ, Denis E, Paulo Freire: His Life, Works and Thought, New York: Paulist Press, 1977.

Freire, Paulo, The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, Massachusetts: Bergin & Garvey Publisher, 1985.

_______________, Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Opressed, New York: Continuum, 1995.

Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan antara Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisisus, 1991.

________________________, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Hardono Hadi, P, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987.

Ritzer, George, Postmodern Social Theory, New York: McGrawhill, 1997.

Sudarminta, J, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002

--ms--


This page is powered by Blogger. Isn't yours?