Sunday, September 07, 2008

Kebijakan Fleksibilisasi Pasar Kerja dan Proses Informalisasi Ketenagakerjaan

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept 07 - Maret 08

Kebijakan Fleksibilisasi Pasar Kerja

dan Proses Informalisasi Ketenagakerjaan

Oleh : Bagus Musharyo

Koordinator SPIS - Jakarta

Latar belakang.

Jumlah orang berpredikat sebagai penganggur terbuka menurut BPS/Sakernas 2007(Februari), setidaknya masih 10,5 juta orang dari total angkatan kerja yang berjumlah 108juta orang, atau mencapai 9,7 persen. Angka prosentase yang justru mengalami kenaikan apabila dibandingkan dengan prosentase pada tahun 2003 yang mencapai 9,5 persen. Yang lebih mencemaskan adalah pengelompokan para penganggur ini kepada mereka yang berusia muda kurang dari 25 tahun telah mencapai 5,78 juta orang atau sekitar 55 persen dari total penganggur. Sebagian besar dari mereka ini berada diperkotaan, jumlahnya mencapai 52 persen. Kenyataan lain yang tak kalah mengkawatirkan adalah sekitar 43 persen dari para penganggur ini berpendidikan SMTA ke atas seperti terlihat dari data berikut ini; SMTA : 3.745.035 orang, Diploma/Akademi : 330.316 orang, Universitas : 409.890 orang.

Keadaan angkatan kerja sendiri hingga sekarang strukturnya juga belum berubah, sektor pertanian masih merupakan sektor yang menyerap jumlah tenaga kerja terbesar, yaitu sebesar 42,5 juta dari total 97, 5 juta. Diikuti berurutan sektor perdagangan 19,5 juta, industri 12,1 juta, angkutan 5,5 juta, bangunan 4.5 juta dan lainnya 13,5 juta. Dari jumlah 97,5 juta tersebut lebih dari 60 persen diantaranya bekerja di sektor informal.

Dari data BPS tahun 2006 diketahui, jumlah pekerja upahan sebesar 36.103.441 orang, 72 persen adalah pekerja/buruh, selebihnya 16 persen adalah pekerja bebas di pertanian dan 12 persen adalah pekerja bebas non pertanian. Upah yang mereka terima adalah; <>> 2 juta rupiah kelompok laki-laki yang menerima sebanyak 1, 3 juta orang sedang kelompok perempuan hanya 0,3 juta orang; sebaliknya golongan upah terendah < 200 ribu rupiah kelompok perempuan yang menerima sebanyak 2,2 juta orang sedangkan kelompok laki-laki sebanyak 1,4 juta orang.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia memang sangat krusial, pengangguran yang masih tinggi, menjadi rentan karena terkonsentrasi pada kelompok usia muda, berpendidikan tinggi dan berada di wilayah perkotaan. Kenyataan ini menimbulkan tekanan sosial yang tinggi, berpotensi sewaktu-waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial. Banyak kaum muda merasa frustasi dan kecewa akibat sulitnya memperoleh pekerjaan seperti yang diharapkan ketika duduk di bangku pendidikan. Namun kenyataan yang dihadapi dikehidupan nyata sangat berbeda dari harapan, tanpa tahu sampai kapan keadaan ini akan mereka hadapi.

Selain sulitnya mencari lapangan pekerjaan, pekerjaan yang ada kondisinya juga tidak terlalu memuaskan. Lebih dari 60 persen dari pekerjaan yang ada adalah pekerjan di sektor informal. Pemerintah menggolongkan sebagai dengan produktivitas rendah, dan dengan demikian juga pendapatannya rendah*. Sedangkan pekerjaan di sektor formal/industri, dari data di atas menunjukkan hanya sekitar 22,5 persen yang memberikan upah di atas 1 juta rupiah. Tentu hal ini sangat berat untuk memenuhi kebutuhan hidup, terlebih di wilayah perkotaan.

Menghadapi masalah ketenagakerjaan seperti ini pemerintah melalui berbagai kebijakannya pada intinya berupaya untuk memindahkan atau menarik mereka yang bekerja di sektor informal ke dalam sektor formal/industri. Tindakan ini diambil karena anggapan bahwa sektor formal/industri keadaannya lebih baik dibanding sektor informal. Seperti diketahui, bekerja disektor informal identik dengan ketidakpastian yang tinggi, tanpa jaminan sosial (kesehatan, pendidikan, perumahan, hari tua dll), tak tersentuh kredit perbankan, tidak ada bantuan modal/investasi dst. Pertanyaannya, melalui berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah, apakah benar berbagai asumsi yang melekat pada sektor informal tersebut bisa dihilangkan ketika mereka ‘ditarik’ ke sektor formal ? Benarkah, melalui kebijakan ketenagakerjaan yang ada telah terjadi formalisasi ketenagakerjaan ?

Rentan terhadap kemiskinan

Sektor informal dipandang pemerintah sebagai sektor ekonomi yang kurang produktif, oleh karena itu juga menghasilkan pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan orang yang bekerja di sektor ini menyebabkan mereka rentan jatuh dalam kemiskinan. Padahal jumlah mereka yang bekerja di sektor ini lebih dari 60 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada, suatu jumlah yang sangat besar. Kerentanan itu ditandai dengan sulitnya akses mereka terhadap jaminan sosial dasar seperti perumahan, pendidikan, kesehatan maupun makanan bergizi. Karakteristik sektor informal secara umum biasanya digambarkab sbb:

1. Untuk memasuki tida diperlukan modal terlalu besar

2. Mudah dalam memasuki dan keluar dari kegiatan ekonomi tersebut

3. Tidak memerlukan profesionalitas yang tinggi

4. Skala usaha kecil

5. Ketrampilan umumnya diperoleh di luar pendidikan formal

6. Menggunakan teknologi sederhana

7. Penggunaan tenaga kerja secara padat karya

8. Cara memperoleh bahan baku relatif mudah

Cara pandang terhadap sektor informal pada umumnya memberikan citra yang kurang mendukung terhadap perannya yang sangat besar sebagai katup pengaman atas tingginya angka pengangguran di Indonesia. Pandangan tersebut antara lain:

Catatan: * Asumsi sektor informal identik dengan kelompok berpendapatan rendah adalah tindakan menyederhanakan masalah. Sektor informal bukanlah sektor homogin, tetapi terstratifikasi dalam beberapa golongan pendapatan. Seorang pemulung atau tukang nasi goreng dorong sangat mungkin mempunyai penghasilan jauh di atas upah minimum.

° Sektor informal dipandang sebagai sektor ekonomi dengan produktivitas rendah

° Diasumsikan dengan sendirinya akan hilang seiring dengan pertumbuhan sektor formal yang modern

° Hanya dianggap sebagai tempat penampungan kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal/industri

° Bentuk aktivitas ekonominya biasanya marginal, yaitu; asongan, pedagang kaki lima, warung makanan atau produsen skala kecil lainnya

° Usahanya illegal, tidak berbadan hukum dan menghindar untuk membayar pajak

° Dimaksudkan hanya sekedar untuk mempertahankan hidup, karena keberadaannya yang subsisten itu maka tidak perlu masuk dalam kerangka kebijakan ekonomi makro.

Sejauh ini diketahui, dalam mengupyakan agar para pelaku ekonomi informal bisa masuk dalam kegiatan ekonomi modern yang dipandang lebih produktif dan mempunyai kontribusi menurunkan angka kemiskinan, pemerintah lebih mengedepakan kebijakan fleksibilisasi pasar tenaga kerja. Pemerintah percaya kebijakan ini akan memberikan peluang kerja lebih luas serta dapat meningkatkan pendapatan serta pada gilirannya akan mengurangi kemiskinan.

Kebijakan ketenagakerjaan

Beban pengangguran yang begitu besar dan masih dominannya sektor informal pada perekonomian bangsa ini, telah mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang mendorong agar pasar kerja menjadi semakin fleksibel. Kebijakan yang mencerminkan semangat tersebut nampaknya telah diadopsi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 56 ayat 2 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (sistim Kerja kontrak) dan pasal 64 tentang perusahaan pemborong pekerjaan dan penyedia jasa pekerja (outsourcing). Begitu juga peraturan pelaksanaanya Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kep. 220/Men/X/2004 tenteng Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Kontroversi dibalik pengesahanan UU 13/2003 yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan juga mencerminkan pertarungan kepentingan mereka atas substansi UU Ketenagakerjaan tersebut. Penolakan kelompok pekerja terutama adalah kemudahan proses PHK apabila dibandingkan dengan UU No 12 Tahun 1964 yang dinilai lebih memberikan perlindungan terhadap pekerja.Selain itu diakomodasinya ketentuan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau sistim kerja kontrak serta Perusahaan Penyedia Jasa tenaga kerja atau outsourcing. Perlawanan pekerja terhadap ketentuan tersebut berlanjut hingga sekarang karena pekerja menganggap Pemerintah lebih memihak kepada kepentingan modal dan telah meninggalkan tanggungjawabnya sebagai penjamin hak atas keamanan dan kepastian kerja mereka.

Alih-alih merespon tuntutan kelompok pekerja, pemerintah justru semakin mengakomodir kepentingan pengusaha yang keberatan atas substansi UU/13/2003 yang mereka nilai memberikan perlindungan secara berlebihan kepada pekerja. Menurut pengusaha UU 13/2003 perlu disempurnakan terutama klausul tentang:

Klausul

Usulan Apindo *

Besaran pesangon PHK

Masa kerja: 1 thn < 2 thn 1 bln upah

2 thn < 3 thn 2 bln upah

3 thn < 4 thn 3 bln upah

4 thn < 5 thn 4 bln upah

> 5 thn 5 bln upah

Besaran uang penggantian masa kerja

Dimulai 1 bln upah, maks 5 bln upah

Pengupahan

Penangguhan tidak perlu penetapan Menteri tapi cukup mekanisme perundingan bipartit

Mogok kerja

Mogok kerja bukan sebagai hak dasar, hak dasar diatur dalam UUD 1945

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu / Kontrak

Berdasarkan waktu tertentu dan berdasarkan kebutuhan pengusaha

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu putus sebelum berakhir;

oleh Pengusaha : wajib bayar sisa upah

oleh pekerja : wajib bayar ganti rugi

Outsourcing

Perusahaan dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan secara tertulis.

* H.Hasanuddin Racman, Ketua DPN Apindo. Bahan presentasi, Apindo Member Gathering, 28 Maret 2006.

Bukti bahwa kepentingan pengusaha lebih diakomodir oleh pemerintah nampak pada kenyataan, belum genap satu tahun UU 13/2003 berlaku, pemerintah juga sudah gelisah menyimpulkan bahwa UU 13/2003 masih belum cukup fleksibel untuk mengakomodir kepentingan modal. Direktur Ketenagakerjaan Dan Analisis Ekonomi Bappenas, Dr. Ir. Bambang Widianto, MA dalam makalah yang disampaikan pada Seminar Penerapan Sistim Hubungan Kerja Kontrak yang diselenggarakan oleh Komite Buruh Cisadane 28 April 2004 mengemukakan

‘......pengaturan penggunaan tenaga kerja melalui kontrak, outsourcing, dan penggunaan jasa tenaga kerja yang hanya dibatasi pada pekerjaan tertentu, bila dilaksanakan secara kaku akan berpotensi mengurangi fleksibilitas pasar kerja’

Selain itu, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 Bab 23 di bawah sub judul Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan mengenai Arah Kebijakan, bahkan lebih jelas lagi mengatakan:

Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja dilaksanakan dengan:

  1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan berlebihan
  2. . . . . . . . . .

Selanjutnya agar kondisi pasar tenaga kerja lebih fleksibel tersebut dapat segera tercapai maka dimasukkan dalam salah satu pokok kegiatannya adalah: ‘Penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan agar tercipta pasar kerja yang fleksibel’.(RPJM, hal. Bagian IV.23-4) Adapun yang dianggap penting untuk disempurnakan a.l:

No.

Klausul

Arah penyempurnaan

1

Pembatasan pekerja kontrak

Memberikan kemudahan kepada pengusaha untuk melakukan rekrutmen tanpa membatasi jenis pekerjaan bagi pekerja kontrak

2

Pengupahan

Mendorong penentuan upah melalui mekanisme bipartit

3

Aturan main yang berkaitan dengan PHK

Penurunan tingkat pesangon seperti tingkat pesangon di negara ASEAN harus segera dilakukan.

4

Perlindungan pekerja yang berlebihan

Cuti panjang setelah 6 thn bekerja dan gaji kepada pekerja yang sakit sampai dengan satu tahun harus ditinjau kembali.

Ketentuan bekerja malam hari dan cuti haid bagi pekerja perempuan, tidak perlu dilaksanakan secara kaku; ke depan pemerintah akan mendorong dirundingkan melalui mekanisme bipartite.

Masih sejalan dengan pemikiran di atas, pemerintah pada tahun 2006 menerbitkan kebijakan Inpres No.3 Tahun 2006 yang berisikan paket kebijakan perbaikan iklim investasi. Garis besar pemikiran paket kebijakan ini adalah; mencari jalan keluar atas melambatnya pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja baru. Mandat Inpres No.3 Tahun 2006 di bidang ketenagakerjaan adalah:

1. Menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja

2. Penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat murah dan berkeadilan

3. Mempercepat proses penerbitan perijinan ketenagakerjaan

4. Penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan produktif

Pada dasarnya pemerintah menghendaki melalui kebijakan fleksibilisasi pasar kerja agar pekerja dan pengusaha sejauh mungkin memiliki keleluasaan untuk melakukan tawar menawar mengenai tingkat upah dan kondisi kerja lainnya tanpa dicampuri pihak ke tiga termasuk pemerintah. Kepada pekerja diberikan keleluasaan melakukan pilihan-pilihan mengenai kondisi kerja yang ditawarkan oleh pengusaha sehingga dengan demikian pekerja akan menemukan kondisi yang optimal yang bisa dicapai sesuai dengan tingkat konpetensinya; begitu juga kepada pengusaha kondisi seperti itu akan memberikan kemudahan dalam melakukan rekrutmen dan pemecatan pekerja sesuai dengan kebutuhannya sepadan dengan kondisi kerja yang ditawarkannya.

Kondisi pasar kerja yang memberikan keleluasaan/fleksibel seperti tersebut di atas dipercaya akan mendorong kegairahan kegiatan ekonomi; kalau ekonomi tumbuh diharapkan akan melahirkan lapangan kerja yang baru dan seterusnya akan dapat mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Maka harapan pemerintah untuk dapat memindahkan pekerja sektor informal yang begitu besar ke dalam sektor formal yang modern malaui kebijakan fleksibilisasi pasar kerja dilakukan dengan berbagai cara, termasuk upaya melakukan revisi UU 13/2003 yang gagal itu. Namun upaya ini masih terus dilakukan melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang hingga kini belum ditandatangani Presiden

Namun demikian apa yang dipercaya pemerintah tentang fleksibilisasi pasar kerja, yang sudah diwujudkan melalui kebijakan ketenagakerjaan yang ada, pada tingkat penerapan dilapangan menghasilkan fakta yang berbeda dengan harapan semula. Setidaknya dari pengamatan atas kasus-kasus perburuhan yang berkembang belakangan ini diperoleh fakta sbb:

Mitos kebijakan fleksibilisasi pasar tenaga kerja dan fakta di lapangan

Mitos

Kebijakan

Fakta Lapangan

1. Akan semakin meningkat pergerakan buruh informal ke sektor formal

2. Mobilisasi buruh antar sektor industri dan wilayah meningkat

3. Memperluas kesempatan kerja

4. Meningkatkan kesejahteraan buruh

5. Perlindungan terhadap hak-hak buruh meningkat

1. Legalisasi sistem kerja kontrak (PKWT): Undang-Undang No13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan KEPMEN No. 100 Thn 2004 tentang Pelaksanaan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu

2. Legalisasi sistem outsourcing (Pemborongan pekerjaan dan Penyedia Jasa Tenaga Kerja): Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,KEPMEN No. 220 Thn 2004 tentang Pemborongan Pekerjaan dan KEPMEN No. 101 thn 2004 tentang Perijinan Penyedia Jasa Buruh-Pekerja

1. Penggantian atau pemutihan status hubungan kerja dari tetap ke tidak tetap (kontrak)

2. Penutupan pabrik dengan motivasi utama mengganti buruh tetap dengan buruh kontrak

3. Mobilitas buruh terjadi di antara lembaga outsourcing yang satu ke lembaga outsourcing lainnya

4. Menjamurnya lembaga outsourcing di berbagai wilayah.

5. Upah di bawah UMK

6. Akses buruh kontrak terhadap jaminan sosial hilang

7. Buruh kontrak tidak memperoleh cuti tahunan, cuti hamil dan cuti melahirkan

8. Buruh kontrak tidak pernah mengalami kenaikan gaji

9. Keberlangsungan pekerjaannya selalu terancam putus kontrak

10. Masa depan keluarga buruh tidak jelas

11. Diskriminasi terhadap buruh perempuan semakin meningkat

12. Hak-hak buruh semakin rentan dilanggar oleh negara dan pengusaha

Sumber: catatan investigasi SPIS 2007

Pekerja kontrak dan Outsourcing: Buah kebijakan fleksibilisasi pasar kerja

Pemetaan sederhana yang dilakukan oleh Komite Buruh Cisadane di daerah Tangerang, Banten pada akhir Desember 2007 yang lalu, mengenai kasus-kasus PHK massal, mencerminkan kondisi umum yang terjadi di bidang ketenagakerjaan di berbagai wilayah Indonesia. Dari 14 kasus PHK massal dengan korban mencapai 9.930 orang buruh, 13 kasus diantaranya menerapkan sistim kerja kontrak dan atau outsourcing. Sedangkan data Depnakertrans hingga tahun 2007 menurut Kompas, Selasa 11 Desember 2007 sudah ada 22.275 perusahaan yang sudah menyerahkan sebagian atau seluruhnya pekerjaan yang dimilikinya kepada pihak ketiga (outsourcing), perusahan-perusahaan itu secara total memperkerjakan lebih dari 2 juta orang pekerja.

Data pelaku outsourcing di Depnakertrans menurut kompas pada hari yang sama, untuk jenis perusahaan penyedia jasa tenaga kerja telah mencapai jumlah 1.082 perusahaan dengan jumlah pekerja yang “dijual“ tenaganya sebanyak 114.566 orang pekerja. Sedangkan jumlah jenis perusahaan pemborong pekerjaan telah mencapai 1.540 perusahaan yang mempekerjakan 78.918 orang pekerja. Angka-angka tersebut adalah jumlah yang secara resmi dilaporkan ke Depnakertrans, jumlah sebenarnya dilapangan termasuk yang tergolong perusahaan outsourcing ilegal - mengikuti pola fenomena gunung es - di duga mencapai lebih dari dua kali lipatnya.

Data yang belum tersedia adalah jumlah keseluruhan pekerja kontrak yang hubungan kerja kontraknya langsung dengan pemberi kerja. Walaupun mungkin dianggap belum cukup memadai untuk memberikan kesimpulan menyeluruh, data yang pernah dikumpulkan oleh aliansi Serikat Buruh bersama FPBN wilayah Barat pada tahun 2004 di Lampung, Serang, Tangerang, Bekasi, Bogor dan Bandung dari 91 perusahaan yang di data terdapat 57 perusahaan atau 62.6 persen yang telah menerapakan sistim kerja kontrak; sedangkan FPBN wilayah Timur pada tahun yang sama di Surabaya dan sekitarnya dari 48 perusahaan yang didata terdapat 68 persen yang telah menerapkan sistim kerja kontrak dan harian lepas.

Kondisi kerja yang dialami oleh buruh kontrak/outsourcing apabila dibandingkan dengan buruh dengan status tetap diperoleh fakta perbedaan yang sangat mencolok. Upah yang diterima oleh buruh kontrak /outsourcing paling tinggi hanya sampai sebesar upah minimum, tidak demikian dengan buruh tetap, mereka bisa menerima upah lebih dari upah minimum. Menyangkut jaminan sosial, walaupun di tingkat normatif kewajiban pengusaha tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja tidak dibedakan untuk pekerja tetap maupun pekerja kontrak outsourcing, namun di lapangan buruh buruh kontrak/outsourcing hampir tidak ada yang mendapakan haknya tersebut. Hal yang sama untuk tunjangan hari raya keagamaan (THR), buruh kontrak/outsourcing tidak ada yang menerima, khusus hal ini disebabkan biasanya pengusaha mengatur agar masa kontrak mereka habis sebelum jatuhnya hari raya keagamaan; dengan demikian pengusaha tidak berkewajiban membayar THR. Secara umum perbedaan tersebut dapat di lihat dalam tabel berikut:

No

Upah dan Jenis jaminan sosial

Status hubungan kerja

Keterangan

Tetap

Kontrak

Jml

%

Jml

%

1

Upah minimum

91

100 %

87

95 %


2

Jamsostek/asuransi

91

100 %

0

0


3

THR

91

100 %

0

0


4

Tunjangan pensiun

0

0

0

0


5

Bonus tahunan

0

0

0

0

Dimasukkan dalam THR

6

Tunjangan kesehatan

84

92 %

0

0

Buruh kontrak menanggung sendiri


Lainnya

-

-

-

-


Sumber data: Diolah dari hasil pendataan lapangan bersama Serikat Buruh & FPBN wilayah barat Sept-Okt 2004

Bahkan perbedaan itu seringkali juga dipertegas secara fisik dengan pakaian seragam yang berbeda, hal ini meyebabkan pengelompokan buruh di satu pabrik berdasarkan status hubungan kerja tersebut. Mempunyai status sebagai pekerja tetap adalah dambaan setiap pekerja kontrak maupun outsourcing, namun demikian bagi pekerja tetap sendiri bukan berarti tidak menyimpan kekawatiran; hal ini dikarenakan tidak sedikit pengusaha yang melakukan PHK massal atau menutup perusahaan dengan motivasi utama mengganti status pekerjanya dari tetap menjadi kontrak atau meng-outsourcing-kan pekerjaannya kepada pihak ketiga.

Beberapa pengurus Serikat Buruh anggota aliansi serikat buruh di Jabotabek, Serang, Bandung dan Lampung dalam diskusi pada bulan Desember 2005 membagikan pengalaman mereka tentang situasi kerja yang dialami sejak kebijakan fleksibilisasi pasar kerja dilakukan dibandingkan dengan sebelumnya:

Kondisi kerja

Rentang waktu

Sebelum berlakunya UU 13/2003

Sejak berlakunya UU 13/2003

Lapangan pekerjaan

- Masih banyak tersedia dan mudah mendapatkan

- Lapangan pekerjaan yang mencari tenaga kerja

- Jauh lebih sulit dan banyak pabrik yang tutup

Proses rekrutmen

- Langsung pada perusahaan dan melalui proses seleksi, percobaan dan bekerja. Bahkan tahun 1985 di Jawa Tengah, ada lembaga yang mencari tenaga kerja untuk bekerja di pabrik dengan tidak memungut apapun bahkan disediakan bis menuju Tangerang secara gratis.

- Fungsi Depnaker masih berjalan, dengan membuat kartu kuning maupun informasi lowongan kerja

Melalui agen-agen tenaga kerja dan harus mengeluarkan banyak biaya antara 600 ribu hingga 1,5 juta, tergantung masa kontraknya.

Fungsi disnaker sudah mulai tidak kelihatan lagi, dan diambil alih oleh swasta.

Status kerja

Sebagian besar satus tetap/permanen

Sekarang status tetap diubah menjadi kontrak dan yang baru langsung kontrak bahkan harian lepas atau borongan

Upah

- Mulai berlaku UMP

- Nilai upah lebih kecil dari sekarang tetapi biaya hidup masih terjangkau

- UMK menjadi patokan tetapi banyak yang dibawah UMK.

- Nilai nominal upah rendah dan tidak sebanding dangan tingginya biaya hidup

- Upah masih dipotong oleh agen tenaga kerja.

Serikat buruh

Sedikit dan tidak banyak berperan

Makin banyak tetapi belum mampu berkontribusi pada perubahan kondisi

Kasus PHK

Jarang terjadi dan proses PHK lebih sulit. Situasinya lebih tenang karena PHK jarang terjadi.

Proses PHK sangat mudah. Dan ini selalu mencemaskan setiap hari, karena sewaktu-waktu di PHK

Sumber: wawancara lapangan & FGD aliansi SB Jatam, Desember 2005.

Berikut ini adalah pengalaman seorang buruh yang tinggal di Tangerang, Solikhin 26 tahun (bukan nama sebenarnya), yang berpindah-pindah pekerjaan pada era kebijakan fleksibilisasi pasar kerja. Mobilitas Solikhin bukanlah karena dia punya pilihan atas pekerjaan yang ada, tetapi sebaliknya karena dia tidak punya pilihan, karena setiap kali kontraknya tidak diperpanjang oleh pengusaha. Tentu saja bukan mobilitas seperti ini yang diharapkan lahir dari kebijakan fleksibilisasi pasar kerja, namun kenyataan di lapangan ribuan bahkan ratusan ribu pengalaman seperti yang dialami oleh Solikhin.

Selama 2 tahun saya bekerja, sudah mengalami 5 kali pindah kerja dengan status kontrak. Sebelum kerja di pabrik elektronik & plastic, saya kerja di kantin pabrik dengan status kontrak 3 bulan. Kontrak habis, pindah di pabrik elektronik dan kontrak habis 6 bulan. Pindah di pabrik generator, status kontrak 12 bulan habis. Pindah lagi di sebuah supermarket dengan kontrak 6 bulan habis. Lalu pindah lagi di pabrik garment home industri dengan status borongan 3 bulan habis. Juga pernah jadi kuli bagunan harian lepas 4 bulan habis. Hingga akhirnya terdampar di sebuah pabrik garment di kawasan Kalideres sudah 1 tahun ini dengan status kontrak. Saya masih cemas kerena sewaktu-waktu bisa di PHK dengan tiba-tiba. (Sumber: hasil wawancara lapangan oleh KBC Desember 2005)

Padahal, Undang-Undang 1945 pasal 27 ayat 2 menegaskan ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. Fakta mengenai kondisi kerja yang dialami oleh pekerja kontrak dan outsourcing di atas jelas tidak dapat disebut sebagai pekerjaan yang layak, maka dari itu tidak mungkin juga bisa untuk membiayai kehidupannya mereka secara layak Bahkan untuk masalah mendasar seperti kepastian untuk tetap bekerja saja tidak dapat dijamin, bagaimana mungkin bisa diharapkan mereka bisa merencanakan masa depan hidupnya.

Sektor Informal dan Pekerja kontrak/Outsourcing

Kalau asumsi mengenai pekerja sektor formal adalah; lebih memiliki jamin kepastian kerja, secara hukum lebih terlindungi, pendapatan lebih tinggi, ada jaminan sosial, memiliki jaminan hari tua dst; maka apa yang dialami oleh pekerja sektor formal berstatus kontrak dan outsourcing tidaklah demikian. Mereka selalu dihantui oleh kekawatiran diputus kontrak kerjanya, untuk itu mereka terpaksa menerima kondisi kerja tanpa jaminan sosial maupun jaminan lainnya seperti yang dinikmati oleh pekerja formal dengan status tetap. Kebijakan fleksibilisasi pasar kerja ternyata belum (tidak ?) bisa memberikan jaminan kualitas pekerjaan yang lebih baik dari kualitas pekerjaan yang ada di sektor informal.

Hampir semua asumsi tentang kondisi pekerja sektor informal yang diharapkan dapat dikurangi melalui kebijakan fleksibilisasi pasar kerja secara nyata dilapangan tidak terjadi, justru sebaliknya eksistensi pekerja formal semakin terdegradasi akibat ulah pengusaha yang memanfaatkan kebijakan ini. Fakta berikut ini dapat menjelaskan hal tersebut:

Topik

Pekerja informal

Pekerja formal di lapangan

Kontrak/Outsourcing

Tetap

Pekerjaan

Tidak pasti

Tidak pasti

Rentan berubah menjadi kontrak atau outsourcing

Pendapatan

Kurang hingga lebih dari upah minimum

Kurang hingga maks sama dengan upah minimum

Sama hingga lebih dari upah minimum

Jaminan Sosial




Pendidikan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak semua ada

Kesehatan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak semua ada

Perumahan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak semua ada

Hari Tua

Tidak ada

Tidak ada

Tidak semua ada

Istirahat tahunan

Tidak tahu

Tidak ada

Ada

Rekreasi

Tidak tahu

Tidak ada

Tidak semua ada

Sumber: catatan investigasi SPIS 2007

Konsep pemerintah sendiri dokumen RPJM Bab 16.Bagian 4.1 di bawah subjudul “Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja“ mengedepankan langkah-langkah perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja, namun di lapangan ditemukan fakta yang berbeda:

Topik

RPJM Bab 16.Bagian 4.1

Fakta di Lapangan

Hubungan Industrial

Dilandasi hak-hak pekerja

Tergantung kebutuhan pengusaha

Penegakan hukum

Peningkatan perlindungan hukum

Banyak terjadi pelanggaran hukum menyangkut pekerja kontrak/outsourcing

Pekerjaan

Menjamin kepastian kerja

Pekerja tetap (semakin) terancam kepestian kerjanya

Hak berorganisasi

Perlindungan terhadap kebebasan berserikat

Maraknya pemberangusan hak berserikat

Jaminan sosial

Peningkatan jaminan keselamatan dan kesehatan.

Pekerja:

Tetap tidak terjadi peningkatan.

Kontrak/outsourcing semakin tertutup aksesnya

Keamanan kerja

Meningkat

Ancaman premanisme dalam setiap kasus perburuhan semakin tinggi

Sumber: catatan investigasi SPIS 2007

Kesimpulan:

Merujuk pada fakta dilapangan, kebijakan fleksibilisasi pasar kerja yang dimaksudkan untuk mengurangi pengangguran dan memindahkan pekerja sektor informal kedalam sektor formal ternyata tidak memenuhi harapan. Kondisi kerja yang dialami oleh pekerja kontrak dan outsourcing hampir tidak berbeda dengan kondisi kerja pekerja sektor informal, bahkan beberapa aspek masih lebih baik pekerja sektor informal. Yang membedakan keduanya, kalau pekerja kontrak keberadaannya di dalam sistim produksi formal yang terkait erat dengan kebijakan ekonomi formal; pekerja formal di dalam sistim produksi informal yang tidak diperhitungkan keberadaannya dari sisi kebijakan ekonomi formal.

Dengan demikian secara subtansial yang terjadi dalam era kebijakan fleksibilisasi pasar kerja ini adalah, bukan formalisasi sektor informal malah sebaliknya yang terjadi adalah proses informalisasi sektor formal. Pekerja kontrak/outsourcing adalah pekerja informal di dalam sektor formal. Kenyataan ini tentu memprihatinkan, kebijakan yang dimaksudkan mempunyai dampak positif bagi sektor tenaga kerja tetapi justru menimbulkan masalah baru yang lebih rumit dari sebelumnya.

Peran pemerintah yang cendrung dihilangkan dalam pasar tenaga kerja yang fleksibel harus dikembalikan. Penegakan hukum yang konsisten menjadi prasayarat yang tidak boleh ditinggalkan disamping menyediakan aparat yang dapat bekerja secara profesioanl dan efektif dalam menghadapi maraknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengusaha, khususnya mengenai praktek sistim kerja kontrak dan outsourcing.

Jakarta, 03 Maret 2008

Rujukan:

  1. Aliansi Serikat Buruh dan FPBN wil. Barat, Buruh & bayang-bayang regim fleksibilitas, (kertas posisi) seminar nasional “Fleksibilitas solusi bagi siapa”? JMC, 15 Desember 2004.
  2. Aliansi Serikat Buruh dan FPBN wil. Barat, Ketika Buruh Nombok Biaya hidupnya, (kertas posisi)Januari 2006
  3. Bappenas, 2004. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009
  4. Badan Pusat Statistika, Berita Resmi Statistik No. 14/IX/1 Maret 2006
  5. Badan Pusat Statistika, Statistika Angkatan Kerja, 2007
  6. B. Suprobo, Tara., U. Tarigan, Ingan. dan Weiss, Daniel. 2007. Sektor Informal di Indonesia Dan Jaminan Sosial, Laporan Teknis untuk Penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU tentang SJSN.
  7. E. Prabowo, Hemas. dan Hamzirwan, Jangan Tunggu Keringat Pekerja Kering . ., Kompas, 11 Desember 2007
  8. Perkumpulan Prakarsa, Fleksibilkitas Pasar Kerja Dan Tanggung Jawab Negara, draf kertas posisi disampaikan dalam diskusi 1 Mei 2007
  9. Racman, H. Hasanuddin. Rencana Revisi UU 13/2003- Ketenagakerjaan Dan Harapan Dunia Usaha, Bahan Presentasi disampaikan pada Diaolg DPN Apindo dengan UGM, 5 Mei 2006
  10. Tambusai, Muzni. Pelaksanaan Outsourcing Dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan, 2004


This page is powered by Blogger. Isn't yours?