Friday, September 05, 2008

SEKTOR INFORMAL : KATUP PENGAMAN DAN SANG PENYELAMAT YANG TERABAIKAN

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept 07 - Maret 08

SEKTOR INFORMAL :

KATUP PENGAMAN DAN SANG PENYELAMAT YANG TERABAIKAN

Oleh: Hesti R.Wijaya

Koordinator Pekerja Rumahan Asia Tenggara, Mengajar di Universitas Brawijaya – Malang

Sektor informal meliputi bidang kegiatan yang bervariasi. Pekerjanya menghasillkan beragam barang dan jasa. Yang diketahui umum adalah mereka rawan penggusuran, obyek pengejaran SATPOL dan TIBUM, yang menjalankan tugas menegakkan aturan bagi mereka. Sering pula mereka dianggap sebagai biang kemacetan lalu-lintas, dan pencemar lingkungan. Namun bila dicermati mendalam, ternyata banyak hal menarik. Bahwa produknya ternyata dipasarkan tidak saja di dalam negeri, namun juga ke luar negeri. Rasanya banyak yang menyadari bahwa sektor informal pernah menunjukkan peran penting sebagai penyerap tenaga kerja PHK besar-besaran di masa krisis ekonomi. Istilah ditebar bahwa pekerja informal mampu melewati krisis. Bagi eks pekerja formal secara pribadi, dan bagi negara, sektor ini berfungsi sebagai katup pengaman, penyelamat dari bahaya pengangguran. Semegah itukah kondisinya sekarang?

Mengenal pekerja informal: Siapakah pekerja Sektor Informal?

Istilah Sektor Informal mulai dikenal dunia di awal tahun 1970’an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai definisi dan pengertian dibuat orang. Pengertian yang populer dari pekerjaan informal pada awalnya adalah sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun, menggunakan sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri yang dikelola dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang padat karya, teknologi adaptatip, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya. Mereka tidak terorganisir, dan tak terlindungi hukum.

Sektor ini susah dimengerti. Pada akhirnya dapat diklasifikasi 3 kelompok pekerja informal, ke dalam: 1. Pengusaha (pemilik usaha informal dan Pemilik sekaligus operator dari pengusaha mandiri); 2. Pekerja mandiri (kepala dari bisnis keluarga, orang yang mempekerjakan diri sendiri, tenaga kerja keluarga tak di bayar), dan 3. Buruh upahan (pekerja dari perusahaan informal; Pekerja kasuaL, pekerja rumahan, pembantu rumah tangga, pekerja paruh waktu atau pekerja kadang-kadang, pekerja tak terdaftar)

Dari segi umur, serapan tenaga sektor informal sangat fleksibel. Pekerjaan ini tak mengenal usia. Di satu sisi, anak-anak belum usia sekolahpun sebagai tenaga kerja anak telah bekerja. Di sisi lain orang tua renta berbau tanahpun masih bekerja mencari nafkah di sektor ini. Jenis kelamin tidak menjadi batasan. Baik laki-laki maupun perempuan bisa terjun bebas di dalamnya. Bahkan sekalipun ideologi jender mendomestikasi isteri, perempuan-perempuan masih bisa berkiat, bekerja mengais rejeki mencari nafkah dengan menggunakan rumah sendiri sebagai tempat kerja, baik sebagai buruh maupun sebagai pengusaha.

Lokasi kerjanya fleksibel tergantung jenis pekerjaannya. Ada yang tersembunyi di rumah-rumah atau bangunan khusus untuk bekerja, ada pula yang berada di ruang publik. Tanpa batas-batas ruang, dengan mudah orang awam melihat mereka bekerja dalam beragam sektor pembangunan di negara kita. Juga pada semua golongan industri baik industri primer, sekunder maupun tersier. Dalam industri primer misalnya, di sektor pertanian hampir semua petani baik pemilik, penyewa dan penggarap, dan buruh tani adalah pekerja informal, sementara dalam sektor pertambangan dapat disebutkan antara lain pendulang emas, intan, penambang minyak bumi. Dalam industri sekunder, amat banyak untuk disebutkan industri manufaktur yang tergolong informal. Sebagai contoh adalah industri garmen yang melibatkan sistim produksi pekerja rumahan. Juga industri pangan/makanan yang banyak melibatkan perempuan berkaitan peran jender perempuan untuk memasak. Industri kerajinan tangan dan seni, barang-barang budaya, souvenir, perhiasan, asesori, barang-barang keperluan rumah-tangga sejak ruang tamu hingga dapur, umumnya di produksi pekerja informal. Di sektor kelautan/perikanan, seperti dimuat beberapa waktu yang lampau, produksi jarring-jaring kerang dibuat oleh para buruh rumahan .

Pekerja informal dalam industri tersier juga ada di mana-mana. Di arena perdagangan, pedagang amat banyak variasinya. Pedagang yang, dapat menggerakkan dagangannya berpindah tempat secara instan dapat dipastikan informal, seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, pedagang keliling. Penjaja jasa seperti tengkulak dan makelar termasuk pekerja informal. Dalam pada itu, pedagang yang menetap pun seperti warung tegal tergolong dalam sektor ini. Dalam arena perhubungan, kita kenal ojek, tukang becak, sopir angkot, perahu tambangan, taksi gelap misalnya. Yang sangat luas ialah sektor jasa, seperti buruh cuci di rumah, pemulung, pengamen, pekerja seks komersial, pengetik, pengasuh anak, penggunaan komputer, distribusi surat dan selebaran-selebaran. Juga, tak kurang dalam sektor finansial sekalipun. Lintah darat atau pemberi pinjaman uang telah kita kenal sejak dahulu kala. Di masa kini, institusi keuangan seperti akuntan menggunakan tenaga informal. Sangat popular juga adalah penukar uang atau money changer yang bisa kita jumpai bahkan di pelabuhan-pelabuhan internasional. Dapat disimpulkan bahwa sektor ini benar-benar dapat menyerap banyak tenaga kerja dalam berbagai jenis. Kemampuan penciptaan kerja juga meringankan beban pihak-pihak pemberi kerja.

Peran sektor informal

Ketika Pemerintah maupun swasta tidak mampu menyediakan lapangan kerja formal dengan norma ketenagakerjaan standar, keberadaan sektor informal sungguh merupakan katup pengaman yang patut disyukuri dalam mengatasi pengangguran. Kedamaian dan kesejahteraanpun tercipta ketika perut terisi dan kebutuhan hidup dan keluarga tercukupi. Kriminalitas tentu dapat di tekan. Pada masa krisis mulai tahun 1997 yang hingga kini belum pulih, peran sektor informal sebagai katup pengaman, harus diakui besar peranannya dalam penyelamatan ekonomi yang terpuruk paling bawah diantara sesama negara tetangga. Segar dalam ingatan ketika pekerja-pekerja formal terPHK dalam jumlah yang fantastis, berduyun-duyun mereka berpindah memasuki sektor informal untuk bertahan hidup. Tak kurang karena didorong perusahaannya.

Kapasitas sektor informal menyediakan lapangan kerja luar biasa. Dari jumlah pekerja informal itu sendiri, kita hanya bisa memperkirakan bahwa jumlah mereka berlipat kali pekerja formal. Tidak ada data yang akurat tentang berapa sesungguhnya jumlah orang yang bekerja di dalam kapling ekonomi informal ini. Hingga sekarang BPS belum pernah mengumpulkan data spesifik tentang sektor informal dalam variable khusus. Data yang di ketengahkan oleh orang-orang yang berkepentingan tentang sektor informal diperoleh berdasarkan logika melalui pilihan dari komponen Status Pekerjaan, yang berupa penjumlahan dari Tenaga Kerja tak Dibayar dan Pengusaha tanpa Buruh. Ketepatan angka ini tidak akurat, karena diantara tenaga kerja yang dibayar maupun pengusaha dengan buruh ada pula yang tergolong informal. Tak kurang dari ILO memperkirakan jumlah tenaga kerja yang mencari nafkah untuk menyambung hidupnya dalam arena ekonomi informal mencapai besaran dua-pertiga jumlah angkatan kerja. Kaum perempuan terus terkonsentrasi dalam kegiatan informal ini. Ditaksir jumlah mereka 70% dari total angkatan kerja perempuan. Dari soal ketersediaan data tentang keberadaan pekerja informal saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa sektor ini belum mendapat perhatian. Jumlah ini terus bertambah, taruhlah dari observasi-observasi yang menunjukkan bahwa UKM (Usaha Kecil dan Menengah) semakin mengarah pada informalitas. Sudah saatnya Pemerintah mengalokasikan budget tambahan agar angka statistik dipunyai. Lebih-lebih bagi solusi masalah berikut ini.

Keberadaan pekerja informal

Dari aspek produksi mereka kekurangan modal, teknologi maupun pendidikan, disertai sumberdaya yang terbatas. Hygiene dan sanitasi adalah masalah keseharian. Hak-hak sebagai buruh terbatas. Bagi yang terikat dalam hubungan buruh majikan, upah sangat rendah, dalan skala 20% - 70% UMR Jam kerjanya diatas jam kerja standar, tanpa uang lembur. Tak ada jaminan sosial, tak ada bonus, promosi kerja.

Dari aspek organisasi, pekerja informal tergolong tak terorganisir. Kalaupun ada sangat terbatas dalam kelompok-kelompok pada lokalita sempit. Kebanyakan mereka bekerja terisolasi. Karena jam kerjanya amat panjang, tak ada waktu luang untuk berorganisasi. Yang menyedihkan adalah karakteristik yang bermuara pada apa yang disebut kemiskinan. Tentunya data kemiskinan di kalangan mereka ini yang spesifik harus bisa diidentifikasi. Kita hanya bisa mengamati bahwa kemiskinan menganga didepan pekerja informal dan keluarganya, akibat pendapatan keci dari pekerja informal mandiri ataupun upah buruh yang sedikit. Pendapatan serta produktivitas yang rendah berhubungan erat dengan modal yang kecil. Sebagai pekerja, merekapun tidak memperoleh perlindungan sosial. Karenanya, masalah kesehatan akibat kerja misalnya menjadi tanggungan pribadi. Mereka banyak yang menyebut diri “orang susah.”

Meskipun telah diundangkan sejak Indonesia merdeka (lebih 60 tahun), perlindungan sosial belum pernah menjangkau mereka. Perkembangan terjadi pada tengah tahun pertama di awal millennium ke 3. Logikanya karena definisi pekerja rumahan tercakup dalam UU Ketenagakerjaan no. 13/2003, untuk mendapatkan perlindungan. Tetapi rupanya hukum belum berhasil ditegakkan walaupun 5 tahun sudah silam sejak UU itu diundangkan. Bagi pekerja mandiri harapan jaminan sosial dengan bisa diperoleh dari UU SJSN No.40/2004. Namun karena belum terbentuknya sistim, mahalnya biaya asuransi yang harus relatip dibandingkan dengan pendapatan mereka, akses masih merupakan impian.

Nampaknya keberadaan pekerja informal belum berbeda dengan saat ditemukan ILO di awal tahun 70an sebagai: ”pekerja miskin, yang bekerja keras, namun tak dikenal, tak tercatat, tak terlindungi dan tak teregulasi oleh pejabat publik”. Sebagai pekerja mereka belum terorganisir untuk representasi yang efektip, sehingga belum ber suara agar dikenal, diperhatikanl dan dilindungi. Merekapun belum mendapatkan akses pada, dan memperoleh manfaat dari, infrastruktur publik . Mereka menggantungkan diri pada informasi informal pula untuk, kredt, pelatihan mapun “jaminan sosial”. Mereka sering menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan penguasa/petugas publik. Kontribusi mereka pada masyarakat sering tak diakui. Perjuangan pekerja informal? Masih jauh ……


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?