Monday, January 19, 2009

Corporate Social Responsibility dan Labor Standard, dalam perspektif pekerja/buruh


Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 9, April - Juli 2008


Corporate Social Responsibility dan Labor Standard,

dalam perspektif pekerja/buruh

Oleh : Setyo Mulyo

Aktivis Perburuhan, bekerja di Pastoral Perburuhan Keuskupan Bandung



Barang baru digulirkan kembali kehadapan masyarakat Indonesia, khususnya buruh. Undang-undang N0. 40/2007 tentang Perseroan terbatas Bab V Pasal 74 berisi tanggung Jawab Sosial dan lingkungan lebih familiar disebut CSR – Corporate Social Responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan). Kita lihat ayat satu dan dua….

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran…

Merupakan kewajiban sosial bagi perusahaan di dalam peran sertanya mewujudkan pembangunan sosial di Indonesia. CSR pada dasarnya adalah kewajiban/tanggungjawab negara, yang selama ini diperankan oleh Depsos. Karena memang amanat undang-undang untuk melakukan pembangunan manusia seutuhnya adalah tanggungjawab negara, yaitu bahwa “setiap warga negara berhak atas : penghidupan dan kehidupan yang layak, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Jadi permasalahan sosial yang muncul pada saat ini di negeri kaya raya tercinta ini merupakan tanggungjawab negara.

Maka pelaksanaan CSR oleh perusahaan swasta dan BUMN, kalau dilihat lagi sebenarnya sangat menguntungkan perusahaan. Alasannya adalah, bahwa pertama bagi perusahaan yang menjalankan CSR, melalui yayasan yang dibentuknya, besarnya biaya yang dikeluarkan akan diperhitungkan dengan kewajiban perusahaan dalam membayar pajak, sebagai insentif bagi perusahaan. Dari sisi ini perusahaan tidak mengeluarkan biaya akan diperhitungkan sebagai pajak.

Kedua, pelaksanaan CSR, bagi perusahaan merupakan salah satu media promosi yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan akan dimuat oleh media sehingga akan meningkatkan dan membangun citra positif perusahaan yang ujung-ujungnya bisa memperlancar marketing sehingga membantu perusahaan sebagai iklan tidak langsung. Selain itu, juga mampu menutupi praktek-praktek pihak perusahaan yang selama ini cenderung melawan hukum, baik itu berkenaan dengan hak-hak dasar para buruhnya, maupun berkaitan dengan permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul atas keberadaan perusahaan di suatu tempat.

Dalam penganggaran untuk CSR, bagaimana mungkin mengalokasikan anggaran itu dengan fair sementara pengusaha di negeri ini masih menerapkan double, triple accounting yang dalam prakteknya juga difasilitasi oleh petugas pajak dan akuntan publik.

Sementara itu, labor standard atau standar perburuhan, biasanya menunjuk pada batas terendah yang boleh terjadi kaitannya dengan buruh mengenai kesejahteraan buruh, saran kesehatan dan keselamatan kerja, jaminan kebebasan berserikat, termasuk di dalamnya hak berunding secara setara di hadapan perusahaan, dan ekspresi pihak managemen dan majikan berkait dengan pengakuan akan eksistensi buruh dalam hubungan kerja.

Labor standard biasanya sudah diatur di dalam norma-norma hubungan industrial, yang biasa disebut sebagai hak normatif buruh, atau kewajiban minimal perusahaan terhadap buruhnya. Norma kerja bisa berupa aturan-aturan yang berkait erat dengan para buruhnya yang dikeluarkan oleh pemerintahan republik Indonesia, badan-badan dunia, seperti ILO maupun Code of Conduct yang dikeluarkan oleh perusahaan pemegang merk.

Sementara itu, pada persoalan labor standard, sebenarnya pemerintah yang berkewajiban secara hukum untuk menjamin terlaksananya. Karena pemerintah adalah lembaga yang memiliki otoritas dan kapasitas di dalam menjamin terlaksananya segala bentuk peraturan yang ada dan berlaku sebagai bentuk tanggungjawabnya.

Praktek secara menyimpang pada hak-hak buruh oleh perusahaan selama ini, sebenarnya letak pokok permasalahannya ada pada pemerintah. Mengapa sampai saat ini ketidaktaatan terhadap hukum oleh para pengusaha selalu ditolerir oleh pemerintah? Malah saat ini pemerintahan menggulirkan CSR, yang seolah-olah membebani perusahaan. Padahal, dengan CSR pihak perusahaan akan semakin berkelit untuk melaksanakan labor standard.

CSR bisa dikatakan sebagai suatu produk yang ditelorkan dan akan menjadi bumerang jika tidak ada kontrol dari masyarakat setempat dan Buruh. Karena dalam prakteknya program CSR bisa dikatakan semakin memperjelas persekongkolan pengusaha dan Pemerintah. Pemerintah semakin tidak punya wajah dan tidak punya kekuatan dalam mengayomi rakyatnya.

Maka CSR sebenarnya tidak perlu ada apabila pemerintah kompeten menjalankan tanggungjawabnya. Apa sih masalahnya? Toh pajak ada, tinggal dioptimalkan pengelolaannya. Tanggulangi kebocorannya. Berantas mafia pajak. Kita tahu, kebocoran pajak sampai saat ini sangat besar. Belum lagi eksplorasi alam yang di air, darat dan udara dilakukan terus menerus. Jadi kalau ada defisit anggaran selama ini, sehingga hak-hak rakyat tidak dijamin termasuk di dalamnya labor standard, bukan karena sumber dana kita kurang, tetapi memang kebocoran anggaran sangat besar karena perilaku aparat yang korup.

Perilaku korup aparat inilah yang membuat semua lini permasalahan di negeri ini lahir. Oleh karena itulah maka berbagai permasalahan yang ada ini harus diperbaiki dari aparat pemerintahan. Jangan sampai ketidakmampuan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas, lalu melimpahkan kepada pihak lain. Seperti CSR ini yang tercantum dalam UU Perseroan Terbatas adalah karena ketidakmampuan pemerintah membangun kemampuan sosial warganya.

Sementara itu labor standard, hanya menjadi dokumen resmi negara tanpa ada upaya menjalankannya. Buktinya adalah maraknya pelanggaran normatif buruh tidak kunjung ditangani. Malah ada kesan sengaja didiamkan. Lebih-lebih setelah ada CSR, pemerintah akan semakin segan (kalau tidak bisa dibilang takut) menindak pengusaha yang nakal, baik itu melanggar labor standard maupun merusak lingkungan.

Kemiskinan masyarakat buruh tidak akan beranjak dari kubangannya kalau hanya dijawab dengan CSR, terlebih lagi CSR bukan hanya untuk buruh, tapi untuk masyarakat luas. Buruh yang dalam posisi kekurangan masih diajak untuk berbagi dengan masyarakat luas, Lebih rasional saat ini jikalau pemerintah menjamin terlaksananya labor standard di setiap perusahaan yang beroperasi di negeri ini.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?